Liputan6.com, Makassar - Ini kisah urban farming. Diawali saat hari masih pagi. Aira, anak bungsu pasangan Achmad-Indrawati Abdi, warga Jalan Cendrawasih III Kompleks Patompo, Kecamatan Mariso, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sudah ribut mencari gunting dan baskom. Sudah dua bulan ia menunggu panen sejak ikut menanamnya.
Sejak sehari sebelumnya ia memang sudah merencanakan panen kangkung organik di lahan rumahnya yang sangat sempit. Jangan membayangkan hamparan kangkung organik itu di tanah yang lapang. Kangkung-kangkung itu hanya ditanam di botol-botol bekas air mineral yang ditata di rak kayu bekas ekspedisi.
Ya. Indrawati Abdi adalah salah satu pegiat urban farming di Makassar. Bukan hanya kangkung, ada banyak jenis tanaman sayuran di rumah ini. Malahan ada juga sampah dari limbah katering di dekat rumahnya.
Baca Juga
Advertisement
Indrawati bercerita, ide itu diawali kegelisahannya melihat limbah rumah tangga yang terbuang di tempat sampah hingga ke TPA Antang, di Kecamatan Manggala.
"Padahal, sampah sisa makanan dan limbah katering sangat berguna untuk membuat bokashi dari sampah organik rumah tangga," kata Indrawati kepada Liputan6.com, Selasa (13/11/2018).
Dari iseng semacam itu, bisa menjadi lahan mencari rejeki. Menurut Indrawati, bisnis urban farming tak butuh tanah luas. Modal cekak juga bisa. Cukup membeli pupuk kandang dan mengumpulkan sampah rumah tangga untuk dibuat kompos demi menyuburkan tanaman organik.
"Modal utamanya adalah interest, sehingga menimbulkan rasa penasaran. Gabung dengan komunitas agar bisa tukar-menukar ide baru. Kalau tak ada komunitas yakin kita tak bisa berkembang optimal karena bisa ketinggalan trennya, inovasinya," kata ibu empat anak itu.
Indrawati mengatakan saat ini dia sudah piawai membuat bokashi dan air subur dari fermentasi air kelapa. Nah, titik terang peluang bisnis muncul dari situ.
"Awalnya saya tanam sayur organik dan cabai Katokkon (cabai super pedas endemik Toraja) di pekarangan rumah, baru sharing sama orang lewat Facebook. Eh ada yang tertarik, akhirnya dari mulut ke mulut sampai ada yang konsisten beli," kata Indrawati.
Menurut dia, sampah tak harus terbuang ke TPA. Namun bisa dimanfaatkan. Sampah-sampah itu bisa diolah menjadi pupuk organik dan mendatangkan keuntungan. Tentu melalui urban farming agar bisa dilakukan siapa pun, termasuk yang tak punya lahan.
Kisah Maling Sepatu
Kali lain, sebuah cerita dari Tyo. Seorang mahasiswa yang juga tinggal di Makassar. Ia mengaku sudah lama gelisah dengan produksi sampah rumah tangga. Hingga suatu siang tiba-tiba nongol di rumah Indrawati.
"Saya harus sering-sering main ke sini. Saya tahu dari posting-an di FB," kata Tyo.
Kepada para peminat urban farming, Indrawati menyebut selain ketertarikan, juga harus kreatif. Banyak sampah yang bisa dimanfaatkan sebagai wadah tanam.
"Misalnya ini adalah potongan box ekspedisi dari kayu. Bisa untuk menanam kangkung organik," kata Indrawati.
Itu pula yang menyebabkan Tyo harus menempuh perjalanan jauh, mempelajari seluk-beluk urban farming.
"Sepatu ini jadi pot, bermula dari tetangga yang jualan sepatu kecurian. Ternyata si maling enggak teliti. Sebagian sepatu jarahannya jatuh di depan rumah. Karena yang jatuh hanya sebelah, saya ngobrol dengan tetangga yang kecurian dan akhirnya dijadikan wadah tanam," kata Indrawati.
Urban Farming tak melulu berorientasi bisnis, tapi juga keindahan rumah. Agar estetis, maka sepatu-sepatu yang berubah fungsi jadi pot ini diletakkan di rak sepatu. Tyo adalah salah satu anak muda yang merespons estetika unik ini.
"Ada juga seorang ustaz dari Kabupaten Takalar bertandang ke rumah. Ia mengaku ingin belajar urban farming secara organik," kata Indrawati.
Simak video pilihan berikut ini :
Advertisement