Kisah Mantan Anggota GAM, Pilih Pegang Senjata atau Pena?

Jamal baru saja menyelesaikan tasyahud awal ketika terdengar suara mendesing di antara pepohonan. Terasa ada embusan angin melewati kepala anggota GAM itu. Peluru dari sniper yang mengincar kepalanya itu tak mengenai sasaran.

oleh Rino Abonita diperbarui 13 Nov 2018, 13:00 WIB
Jamaluddin berpakaian saat masih menjadi anggotanTNA/ GAM. (Liputan6.com/Rino Abonita/ Dok. Jamaluddin)

Liputan6.com, Aceh Besar - "Bidikan di jidat. Karena mereka, TNI, saat itu berada di ketinggian," demikian Jamaluddin, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang pernah lolos dari bidikan sniper atau penembak jarak jauh itu mengawali kisahnya.

Ketika itu, Jamal dan rekannya dikepung satu pasukan TNI di kawasan hutan Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar 2004, silam.

Saat itu, hari menjelang sore. Jamal sedang menunaikan ibadah salat Asar. Senapan Avtomat Kalashnikova miliknya dia taruh di sampingnya. Sementara, rekannya berjaga-jaga dengan mata awas. Seperti biasa, ketika seseorang di antara mereka salat, yang lain menjaga, begitu pun sebaliknya.

Jamal baru saja menyelesaikan tasyahud awal ketika terdengar suara mendesing di antara pepohonan. Dia terkesiap. Terasa ada embusan angin melewati kepalanya. Peluru dari sniper yang mengincar kepalanya itu tak mengenai sasaran.

"Allah masih berkehendak lain saat itu. Dan saya selamat hingga hari ini," ucap lelaki yang memangku senapan sejak di bangku sekolah menengah kepada Liputan6.com, Selasa (13/11/2018).

Hari itu, kontak tembak antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah IV Aceh Besar yang dikomandoi Tengku Muharram dengan TNI tidak dapat dielakkan. Bunyi letupan memenuhi hutan. Selongsong berjatuhan. Kedua pihak saling mundur menjelang malam tiba.

Menurut Jamal, pertempuran yang terjadi pada hari itu sama sekali tidak memakan korban jiwa di pihak GAM. Namun, dia tidak tahu-menahu bagaimana nasib satu pasukan tentara yang menjadi lawan mereka saat itu.

"Saat kontak tembak terjadi, hanya ada dua pilihan. Bunuh atau dibunuh. Perang itu kasar, harus kuat nyali untuk menjadi seorang gerilyawan," ujar pria kelahiran 3 Juni 1982, Desa Gunci, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara.

Setelah pertempuran itu, Jamal dan rekan-rekannya masih bergerilya di dalam hutan. Namun, setelah ada perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005, Jamal memutuskan untuk turun gunung.

Memangku Senapan Sambil Bersekolah

Lelaki yang akrab dipanggil ciep-ciep oleh rekan seperjuangannya ini mulai bersentuhan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 2000. Jiwa keprajuritannya ditempa saat mengikuti latihan di kamp pelatihan militer GAM di Lhok Drien, Daerah I, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara.

Walau tercatat sebagai pasukan Teuntra Nanggroe Aceh (TNA), yang merupakan sayap tempur GAM. Namun, saat itu, Jamal tetap bersekolah. Dia bersekolah di SMA PGRI Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara. Ketika ujian naik kelas tiba, Jamal tidak sungkan-sungkan meminta izin kepada komandannya untuk cuti.

"Setiap ujian naik kelas, saya tetap pulang untuk mengikuti ujian sekolah. Dalam situasi darurat militer itu, saya menganggap pendidikan sangat penting untuk kehidupan," ujar Jamal. Dia bahkan berkeinginan kuliah setelah tamat SMA.

Namun, setelah mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) atau sekarang UAN, pada 2002, Jamal mengubur niatnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dia memilih bergabung dengan pasukan GAM Wilayah IV yang membawahi dua kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, yakni, Peukan Bada dan Lhoknga. Pasukan ini di bawah komando Tengku Muharram.

"Perang itu kejahatan. Terkadang, mau tidak mau, senang tidak senang, harus kita lakukan untuk melengkapi salah satu syarat suatu daerah yang siap berdiri sendiri," demikian Jamal menggambarkan etno-nasionalisme-nya sewaktu dirinya ingin Aceh lepas dari NKRI.

Saat bergerilya di rimba Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Jamal masih sering berangan-angan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

 


Melanjutkan Mimpi

Jamaluddin berfoto bersama profesor di Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. (Liputan6.com/Rino Abonita/ Dok. Jamaluddin)

Setelah perjanjian damai disepakati, Jamal ditugaskan oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk memfasilitasi pengobatan bagi para mantan kombatan GAM atau masyarakat sipil yang cacat atau mengalami luka-luka akibat perang. Tugas ini dijalankannya hingga tahun 2009.

Saat itu, dia juga terlibat aktif dalam menyusun program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), sebagai Anggota Tim Asistensi Pemerintah Aceh Bidang Kesehatan. Selanjutnya, Jamal diangkat menjadi anggota Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh hingga tahun 2011.

Medio 2011, hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi muncul kembali. Tak mau jiwanya yang haus pendidikan itu mati, Jamal mendaftarkan diri ke Fakultas Ekonomi Universitas Setia Budi Mandiri, Medan, Sumatera Utara.

Karena begitu lama memegang senjata, Jamal sempat keteteran saat memegang pena. Pada titik ini, Jamal juga sempat kecewa. Pasalnya, tidak ada pihak yang mau menyokong dana untuk para eks kombatan yang hendak mencecap pendidikan seperti dirinya.

"Saya beberapa kali mengajukan beasiswa ke Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Mereka tidak merespon. Namun, saya tidak kecewa. Karena saya menganggap mareka tidak paham betapa butuhnya dunia akademik untuk menghadapi era global modern," kata Jamal.

Berkat adanya tekad yang kuat serta didukung oleh rekan-rekan dari civil society tempatnya belajar berorganisasi, serta bermodalkan peternakan ayam boiler yang digarap secara swadaya sejak aktif bekerja di bawah naungan KPA pada 2006 lalu, Jamal akhirnya berhasil meraih gelar sarjana muda pada tahun 2014.

Tak sampai di situ, pada 2015, Jamal melanjutkan pascasarjana di Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Baru-baru ini, suami Merianti itu berhasil menyisipkan titel master di ujung namanya. Lelaki bergelar Magister Manajemen itu menggondol Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.44.

Tesis tentang Resolusi Konflik

Kepada Liputan6.com, Jamal mengungkapkan, dirinya lebih menyukai diplomasi dalam menyelesaikan suatu masalah, khususnya terkait konflik bersenjata. Menurutnya, diplomasi lebih dapat meminimalisasi korban dari kalangan rakyat sipil. Hal itu, menjadi alasan dia menulis tesis berjudul 'Manajemen Resolusi Konflik'.

Tesis tersebut menjadi atribusi seorang Jamal terhadap perdamaian dan upaya menjaga perdamaian di Aceh. Eks GAM ini merumuskan implementasi strategi perdamaian dengan teori tiga K miliknya, yakni komitmen, kompetensi, dan koordinasi.

Komitmen yakni tekad yang bulat untuk mengimplementasikan hasil kesepakatan. Kompeten, di mana implementasi strategi membutuhkan kecakapan untuk melaksanakan semua kesepakatan damai. Dan, koordinasi.

"Dengan koordinasi, semua potensi bisa disinerjikan dengan baik. Melalui koordinasi yang matang, potensi-potensi konflik bisa dihilangkan," jelas ayah Hima Syukriah dan Haura Humairah.

Jamal yakin, 3 K tersebut penting diterapkan agar damai di Aceh yang baru berjalan 13 tahun langgeng dan tak mengalami distorsi oleh anasir atau paham lain yang dapat mengganggu perdamaian ke depannya.

"Dalam resolusi konflik, pemusnahan alat perang hanya menjadi jeda dalam sebuah perang. Sadar atau tidak, gerakan ideologi lebih berpotensi untuk bangkit daripada gerakan non-ideologi," Jamal menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya