Tersandung Krisis Rohingya, Amnesty International Cabut Gelar Kehormatan Aung San Suu Kyi

Gelar kehormatan kembali dicabut dari Aung San Suu Kyi karena dinilai abai terhadap isu Rohingya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 13 Nov 2018, 12:02 WIB
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Liputan6.com, Napyidaw - Amnesty International menarik sebuah penghargaan hak asasi manusia (HAM) bergengsi dari Aung San Suu Kyi. Langkah tersebut dilakukan setelah apa yang digambarkan sebagai "pengkhianatan memalukan" dari nilai-nilai yang pernah dipegang oleh sang pemimpin Myanmar.

Keputusan tersebut adalah yang terbaru dalam serangkaian penarikan penghargaan milik Aung San Suu Kyi, termasuk piala Elie Weisel dari Holocaust Museum dan Freedom of the City, yang dicabut oleh gabungan insitusi pendidikan bergengsi di Edinburgh, Oxford, Glasgow dan Newcastle.

Dikutip dari The Guardian pada Selasa (13/11/2018), Amnesty International mengatakan pada hari Senin, bahwa Aung San Suu Kyi tidak lagi menjadi simbol harapan. Oleh karena itu, lembaga yang bermarkas di London itu memutuskan menarik gelar kehormatan tertinggi sebagai duta penghargaan hati nurani.

Aung San Suu Kyi disebut tidak peduli terhadap kekejaman yang jelas terlihat pada nasib kelompok etnis Rohingya. Ia juga dinilai membiarkan peningkatan intoleransinya terhadap kebebasan berpendapat.

Duta penghargaan hati nurani diberikan pada Aung San Suu Kyi pada 2009, saat ia masih menjalani tahanan rumah, terkait perannya dalam memperjuangkan perdamaian dan demokrasi.

Suu Kyi digambarkan sebagai "simbol harapan, keberanian dan pembelaan abadi hak asasi manusia" oleh Irene Khan, Sekretaris Jenderal Amnesty International saat itu.

Kumi Naidoo, sekretaris jenderal organisasi terkait saat ini, mengatakan dalam sebuah surat resmi kepada Aung San Suu Kyi bahwa gelar tersebut tidak lagi dapat dibenarkan.

"Harapan kami adalah Anda akan terus menggunakan otoritas moral untuk berbicara, menentang ketidakadilan di mana pun Anda melihatnya, tidak hanya di Myanmar sendiri," tulis Naidoo dalam surat itu.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Dinilai Tutup Mata

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada Selasa 19 September 2017 akhirnya bicara ke dunia soal krisis di Rakhine yang memicu eksodus massal warga Rohingya ke Bangladesh (AP Photo/Aung Shine Oo)

Lebih dari 700.000 orang Rohingya tetap tinggal di Bangladesh, setelah melarikan diri dari tindakan brutal militer yang dimulai pada Agustus 2017.

Para penyelidik PBB mengatakan bahwa selama kampanye, militer Myanmar melakukan pembunuhan dan pemerkosaan dengan "niat genosida". Lima jenderal akan dituntut atas kejahatan berat di bawah hukum internasional.

Yanghee Lee, penyelidik khusus PBB untuk HAM di Myanmar, mengatakan dia yakin Aung San Suu Kyi berada dalam "penolakan total" tentang tuduhan kekerasan.

"Tanpa mengakui kejahatan yang mengerikan terhadap masyarakat, sulit untuk melihat bagaimana pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi mereka (Rohingya) dari kekejaman di masa depan," kata Naidoo.

Amnesty International menambahkan bahwa pemerintahan Aung San Suu Kyi telah menimbulkan kebencian terhadap Rohingya, dengan melabeli mereka "teroris", menghalangi penyelidikan internasional terhadap pelanggaran, dan gagal mencabut undang-undang represif yang digunakan untuk membungkam para kritikus.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya