Liputan6.com, Jakarta - Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah menuntaskan masalah pelanggaran HAM pada tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 silam. Sudah 20 tahun berjalan, pemerintah dinilai belum bisa menyelesaikan tragedi berdarah tersebut maupun peristiwa Semanggi II dan Trisakti.
KontraS pun meminta pemerintah memanggil Presiden ke-3 RI BJ Habibie guna memberikan masukan dalam penyelesaian kasus Semanggi. Staf Divisi Pemantau Impunitas KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra menilai masih relevan, bila presiden atau pemerintah berkoordinasi dengan mantan presiden.
Advertisement
"Kenapa penting atau relevan memanggil Pak Habibie, karena waktu pemerintahan Pak Habibie 1999-2000, Beliau menyatakan di beberapa media, secara resmi pemerintah akan menyelesaikan secara berkeadilan, menurut aturan-aturan hukum, terhadap kerusuhan Mei, tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2," ujar Dimas di markas KontraS, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (14/11/2018).
KontraS juga meminta pemerintah mengganti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto yang diduga sebagai pelaku pelanggar HAM berat dalam tragedi Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti.
"Karena kami lihat figur Wiranto bermasalah dalam HAM. Sehingga menyebabkan langkah-langkah yang diambil itu tidak transparan, tak akuntabel, dan tak representatif karena bagaimana kita mau menyelesaikan kalau mekanisme itu digagas oleh yang diduga pelanggar HAM," ujar Dimas.
Kemudian, KontraS meminta pemerintah memberi tugas kepada Kejaksaan Agung untuk segera menindaklanjuti ke tahap penyidikan terhadap berkas penyelidikan yang telah diserahkan oleh Komnas HAM.
"Alasan nebis in idem (kasus yang sama tak boleh dituntut dua kali), kejadian yang sudah lama terjadi (daluarsa) sehingga mengakibatkan proses pencarian bukti menjadi sulit adalah alasan yang mengada-ngada," ucap Dimas.
Lembaga yang dibuat mendiang aktivis HAM Munir tersebut pun ingin Presiden Jokowi menghentikan segala macam bentuk upaya Menkopolhukam Wiranto yang melenceng dari tujuh penegakan hukum dan HAM dan mekanisme-mekanisme yang menggugurkan nilai keadilan.
"Seperti Dewan Kerukunan Nasional (DKN), penyelesaian dengan tata cara adat, penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat, dan yang terakhir Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggran HAM berat masa lalu," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tak Ada yang Baru
Di kesempatan sama, Ibunda Norma Irawan, mahasiswa Atmajaya korban peristiwa Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada hal baru yang ingin disampaikan KontraS kepada pemerintah.
Namun, Sumarsih bersama keluarga korban masih berharap Presiden Jokowi di penghujung periode pertama pemerintahannya masih ada niat mewujudkan komitmennya menyelesaikan tragedi penembakan para mahasiswa baik dalam kasus Semanggi I, II dan Trisakti.
"Selama wartawan tidak memberitakan lagi masalah penembakan mahasiswa, ya semakin tidak ada harapan lagi di dalam penegakan supremasi hukum dan HAM di negara kita," ucapnya.
Dia menambahkan, sampai saat ini KontraS masih memperjuangkan penembakan mahasiswa sesuai dengan undang-undang yang berlaku yakni UU 26 Tahun 2001 tentang Pengadilan HAM. Tujuannya, kata Sumarsih, agar ada jaminan supaya kedepan tak terjadi pelanggaran HAM. Sumarsih tetap setia memperjuangkan keadilan.
"Terus terang saya yang belum pernah berhenti memperjuangkan kasus kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus penembakan anak saya Bernardinus Realino Norma Irmawan yang biasa dipanggil Wawan dia adalah mahasiswa Atmajaya, saya juga merasakan saat saat saya putus asa, saya lelah, hal ini juga dirasakan oleh para keluarga korban yang lain," pungkas ibu berusia 66 tahun itu.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Advertisement