Liputan6.com, New York - PBB, pada 7 November 2018, telah membuat draf resolusi yang "mengutuk keras keberlanjutan kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia" terhadap etnis Rohingya --menurut laporan kantor berita AS The Associated Press.
Draf resolusi itu juga berisi desakan kepada pemerintah Myanmar untuk menghentikan diskriminasi dan memberikan kewarganegaraan bagi Rohingya, demikian seperti dikutip dari The Washington Post, Rabu (14/11/2018).
Dokumen itu disponsori oleh 57 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) serta lebih dari 25 negara Eropa dan Kanada.
Pemungutan suara untuk resolusi itu akan dilakukan pada 15 November 2018 di Komite Hak Asasi Manusia Majelis Umum PBB.
Baca Juga
Advertisement
Rancangan resolusi mengungkapkan keprihatinan mendalam bahwa kekerasan terhadap Rohingya telah memaksa lebih dari 723.000 orang mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus 2017.
Draf itu juga menegaskan kembali "keprihatinan mendalam" pada laporan bahwa kelompok Rohingya yang masih bertahan di Rakhine, terus menjadi sasaran penggunaan kekerasan yang berlebihan dan pelanggaran hak oleh militer dan pasukan keamanan Myanmar, termasuk, pembunuhan dan pemerkosaan.
Laporan Tim Pencari Fakta telah Sampai ke Dewan Keamanan, Tapi...
Sementara itu, ketua penyelidik untuk Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) --yang bernaung di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB-- mengatakan bahwa laporan penyelidikan mereka atas situasi yang terjadi terhadap Rohingya, telah sampai ke Dewan Keamanan PBB.
Marzuki Darusman, Ketua TPF Myanmar, juga mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB diharapkan membentuk sebuah tribunal untuk mengadili enam figur militer Myanmar yang bertanggungjawab atas "genosida" terhadap Rohingya --sebagaimana yang dilaporkan oleh tim itu pada September 2018 lalu.
Disebutkan dalam laporan TPF, ada enam orang petinggi militer yang paling bertanggungjawab dan memiliki kewenangan dalam kasus kekerasan terhadap Rohingya yang memicu lebih dari setengah juta Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Salah satu petinggi militer itu adalah Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar). Ia berada dalam posisi pembuat kebijakan yang paling bertanggungjawab atas operasi militer Myanmar di lapangan untuk 'membersihkan Rohingya'.
"Mereka memimpin divisi infantri brigade ringan yang ditugaskan untuk melakukan pembersihan dan segala tindakan kekerasan terhadap Rohingya seperti pembunuhan hingga pemerkosaan, pembakaran dan lain sebagainya," kata Marzuki di Wisma Antara Jakarta, Rabu 14 November 2018.
Tapi, Marzuki memperkirakan bahwa Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB mungkin tidak akan satu suara menerima laporan dan desakan TPF Myanmar. "Ada China dan Rusia yang berusaha mencegah resolusi tribunal Dewan Keamanan PBB terhadap keenam jenderal itu," ujarnya.
Simak video pilihan berikut:
Daftar Pelaku yang Bertanggungjawab
TPF Myanmar juga telah menyusun daftar pelaku yang harus diprioritaskan untuk penyelidikan dan pendakwaan atas kebertanggungjawaban mereka dalam genosida terhadap Rohingya.
Pencarian fakta menemukan bahwa militer Myanmar terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas sejak 2011. Laporan itu juga menambahkan bahwa lembaga keamanan Myanmar lainnya juga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut.
Figur yang terlibat dimulai dengan panglima tertinggi, Min Aung Hlaing, yang sejauh ini selalu terhindar dari sanksi atau kecaman khusus dari pemerintah internasional, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Laporan misi itu juga menyebutkan lima komandan militer lainnya - wakil komandan utama Soe Win, Aung Kyaw Zaw, Maung Maung Soe, Aung Aung dan Than Oo, semuanya memimpin divisi militer yang melakukan operasi di negara bagian Rakhine dan tempat lain di Myanmar.
Maung Maung Soe termasuk yang pertama dijatuhi sanksi oleh beberapa negara dan dipecat --atau dikambing-hitamkan-- oleh militer Myanmar pada bulan Juni dalam sebuah gerakan yang secara luas dilihat sebagai cara bagi para pemimpin senior untuk menunjukkan bahwa mereka mengambil tanggung jawab atas krisis tahun lalu.
Dia memimpin Komando Barat, yang mengawasi negara Rakhine, hingga November lalu. Keputusan itu, yang menurut mantan pejabat tinggi militer, dibuat oleh Min Aung Hlaing sendiri, sangat tidak populer di kalangan militer, yang percaya dia dijadikan kambing hitam untuk melindungi lebih banyak pemimpin senior.
TPF Myanmar, yang didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB, merekomendasikan bahwa Dewan Keamanan merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional, atau membuat pengadilan pidana internasional ad hoc, dan memberlakukan embargo senjata pada Myanmar.
Dewan Keamanan PBB bertemu hari Selasa 28 Agustus, tetapi pengamat mengatakan tidak mungkin bahwa tindakan yang menentukan akan datang dari badan PBB itu.
China, anggota permanen dewan dan tetangga di utara Myanmar, telah membela Naypyidaw sejak awal krisis, dan menjanjikan bantuan pembangunan sejalan dengan strategi pemerintah di negara bagian Rakhine, melihatnya sebagai cara untuk mendapatkan kembali pengaruh yang hilang sejak Myanmar memulai hubungan hangat dengan Barat, The Washington Post melaporkan.
Min Aung Hlaing, panglima tertinggi, baru-baru ini mengunjungi Rusia --salah satu anggota permanen DK PBB-- di mana dia berbelanja senjata.
Advertisement