Liputan6.com, Brasilia - Pada suatu masa, Brasil pernah dipimpin oleh seorang kaisar. Sejarah mencatat, monarki di Negeri Samba didirikan pada 1822. Kala itu, putra mahkota Portugal, Dom Pedro, menentang parlemen dan memproklamasikan kemerdekaan Brasil di bawah kepemimpinannya.
Namun, pada 1931, Kaisar Pedro I kembali ke Portugal dan menyerahkan takhta pada putranya yang baru berusia lima tahun: Pedro II.
Baca Juga
Advertisement
Mewarisi kerajaan yang gonjang-ganjing dan terancam pecah pada usia kanak-kanak membuat Pedro II kehilangan masa kecilnya. Masa remajanya pun berlangsung suram. Sepi. Ia nyaris tak punya teman sepantaran. Waktunya sebagian besar dihabiskan untuk belajar, mempersiapkan diri untuk memerintah dari singgasana.
Pedro II resmi dinobatkan sebagai kaisar pada 1841. Meski terhitung belia, kaisar muda itu membuktikan dirinya lebih cakap memimpin dari ayahnya.
Selama lima dekade pemerintahannya, ia mengubah Brasil menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan di kancah internasional. Berbeda dengan negara-negara Hispanik lainnya, warga Negeri Samba menikmati stabilitas politiknya, jaminan kebebasan berbicara, penghormatan atas hak-hak sipil, pertumbuhan ekonomi yang dinamis.
Brasil juga menang dalam Perang Platine, Perang Uruguay, dan Perang Paraguay, serta dalam beberapa sengketa internasional dan ketegangan domestik lainnya.
Pedro II dengan gigih mendorong penghapusan perbudakan meskipun ditentang oleh kekuatan politik dan kepentingan ekonomi yang kuat. Sang kaisar juga membangun reputasi diri sebagai pendukung pembelajaran, budaya, dan ilmu pengetahuan.
Tokoh terpandang seperti Charles Darwin, Victor Hugo, dan Friedrich Nietzsche menaruh hormat kepadanya. Sementara, Richard Wagner, Louis Pasteur, dan Henry Wadsworth Longfellow, ada dalam daftar temannya.
Dan, tak seperti pemimpin Brasil lainnya, Pedro II dicintai dan dikagumi rakyat Amerika Serikat.
Seperti dikutip dari medium.com, pada 1876, Pedro II tiba di AS untuk menemui Presiden Ulysses S. Grant. Ia juga bersua dengan Alexander Graham Bell, saat sang penemu mendemonstrasikan hasil inovasinya: telepon.
Meski dicintai rakyatnya, itu tak menjamin keamanan takhtanya. Ketidakpuasan yang meluas di kalangan militer, bangkitnya republikanisme, dan meningkatnya kebencian di kalangan politisi -- kekuatan itu berpadu melawan monarki pada akhir 1880-an.
Namun, itu saja sebenarnya tak cukup untuk melengserkan Pedro II. Seandainya, sang kaisar lebih fleksibel berbagi kekuasaan dengan entitas politik lain dan mengambil peran yang lebih aktif dalam politik di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, jatuhnya monarki dapat dihindari atau setidaknya ditunda.
Mayoritas rakyat Brasil kala itu tak punya keinginan mengubah bentuk pemerintahan, para pendukung republik mulai menekan para petinggi militer untuk menggulingkan monarki.
Mereka meluncurkan kudeta, menahan Perdana Menteri Afonso Celso, Viscount atau raja muda Ouro Preto, melembagakan republik pada 15 November 2018. Mereka yang menyaksikan insiden itu tak menyadari bahwa itu adalah pemberontakan.
Sementara, Pedro II tak menunjukkan emosi, seakan-akan tidak peduli akibatnya. Dia menolak semua saran untuk memadamkan pemberontakan.
Bahkan ketika dilengserkan paksa, sang kaisar hanya berkomentar, "Jika memang demikian, itu akan jadi masa pensiunku. Aku sudah bekerja terlalu keras. Dan aku lelah. Kini saatnya aku istirahat," kata dia.
Ia dan keluarganya kemudian diasingkan ke Eropa pada 17 November 1889.
Saksikan video terkait Brasil berikut ini:
Raja yang Mencintai Ilmu Pengetahuan
Intelektualitas Pedro II yang intens menimbulkan tantangan tersendiri bagi kelangsungan monarki.
Ia tak pernah menolak takhta. Namun bukan kekuasaan yang jadi cinta sejatinya.
"Nasci para consagrar-me às letras e às ciencias," kalimat itu yang ia tulis dalam buku harian, seperti dikutip dari situs Brown University Library atau library.brown.edu. Pedro II mengaku dilahirkan untuk mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Itu mengapa respons Pedro II atas pelengseran dirinya tak semengerikan penguasa lain yang mati-matian memertahankan kekuasaan.
Apalagi, Dom Pedro tertarik pada cita-cita republikanisme dan bahkan pernah menulis bahwa ia akan "lebih bahagia sebagai presiden republik daripada sebagai kaisar."
Selain lengsernya kaisar terakhir Brasil, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada tanggal 15 November.
Pada 15 November 1943, salah satu pemimpin Nazi, Heinrich Himmlermemutuskan untuk 'menghukum' etnis Gipsi (maupun setengah Gipsi), dengan mengatakan bahwa mereka sama saja dengan Yahudi.
Sementara, tragedi menimpa jemaah haji Indonesia pada 15 November 1978. Sebuah pesawat yang mengangkut jemaah haji dari Arab Saudi ke Indonesia mengalami kecelakaan di Sri Lanka, menewaskan 183 dari 262 penumpang dan awak kabin.
Seperti dikutip dari History, kecelakaan tersebut menimpa pesawat milik maskapai Icelandic Airlines yang disewa oleh Garuda Indonesia untuk mengangkut jemaah haji kembali ke Indonesia.
Advertisement