Liputan6.com, Jakarta - Banyak yang mengira ditutupnya operasional Uber di Asia Tenggara bakal bisa merampingkan efektivitas layanan perusahaan. Namun kenyataannya, Uber tetap merugi.
Menurut informasi yang dilansir Reuters pada Rabu (15/11/2018), layanan transportasi online dan on demand asal Negeri Paman Sam tersebut, baru saja mengumumkan kerugian besar hingga US$ 1,07 miliar (setara dengan Rp 15,7 triliun).
Baca Juga
Advertisement
Kerugian tercatat dalam periode keuangan 3 bulan yang baru saja berakhir pada 30 September 2018.
Mirisnya, kerugian meningkat 20 persen dari kuartal sebelumnya. Namun demikian, setidaknya kerugian ini menurun 27 persen dari 2017 saat terjadi polemik sang pendiri sekaligus CEO Uber, Travis Kalanick, yang pada akhirnya digantikan oleh Dara Khosroshahi.
Laporan lebih lanjut mengungkap, total booking untuk layanan transportasi online dan pengantaran cuma tumbuh enam persen.
Adapun salah satu upaya yang dilakukan untuk mendongkrak layanan pengantaran adalah dengan berencana untuk mengembangkan layanan pengantaran makanan hingga sewa mobil listrik.
Sementara untuk pendapatan total Uber, tercetak di angka US$ 2,95 triliun, yang naik sebanyak 5 persen dari kuartal sebelumnya dan 38 persen dari 2017.
Startup Paling Bernilai
Bagaimanapun, terlepas dari kerugian yang didapat, Uber faktanya masih menjadi salah satu startup yang paling bernilai di dunia dengan nilai valuasi US$ 76 miliar.
Namun sayang, tekanan semakin besar bagi perusahaan agar dapat membuktikan bisa meraih keuntungan kembali menjelang Initial Public Offering (IPO) pada tahun depan.
"Kami punya kuartal yang kuat. Di pasar dengan potensi tinggi seperti India dan Timur Tengah, kami terus berusaha memperkuat posisi sebagai pemimpin pasar," kata Nelson Chai, Chief Financial Officer Uber.
Sayang, himpitan persaingan dan kerugian yang didapat perlahan, terpaksa membuat Uber melakukan aksi merger dengan rival yang ada di wilayah tempat beroperasinya.
Advertisement
Bos Uber Akhirnya Ungkap Alasan Tunduk ke Grab
CEO Uber Dara Khosroshahi, akhirnya angkat bicara soal akuisisi Grab terhadap layanan operasional Uber di Asia Tenggara.
Orang nomor satu di Uber tersebut menegaskan tak akan menjual akuisisi unit bisnis Uber di pasar global. Walau demikian, bukan berarti kejadian yang sama akan terjadi lagi di waktu mendatang.
Hengkangnya Uber dari wilayah Asia Tenggara menandakan layanan ride-sharing tersebut sudah tiga kali 'bertekuk lutut' dengan yakni menyerahkan unit bisnisnya ke layanan kompetitor di pasar global.
Untuk diketahui, sebelum menjual layanan operasionalnya di Asia Tenggara ke Grab, Uber juga sempat melakukan hal serupa kepada kompetitornya di Didi Chuxing di Tiongkok dan Yandex di Rusia.
Dengan demikian, Dara berujar, aksi korporasi tersebut akan menjadi yang terakhir. Ia juga menegaskan, selama masih memimpin Uber, dirinya tak akan lagi mengulangi kejadian serupa.
"Wajar saja jika kalian bertanya, konsolidasi dan strategi apa yang cocok untuk dilakukan sekarang ini, seperti di Tiongkok, Rusia, dan Asia Tenggara. Yang pasti, selama saya memimpin Uber, kejadian tersebut tak akan terulang lagi," ujar Dara seperti dikutip Tech Crunch, Senin (26/3/2018).
Perlu diketahui, akuisisi layanan Uber di Tiongkok dan Rusia berlangsung kala perusahaan tersebut masih di bawah pimpinan Travis Kalanick.
Dara juga mengatakan, ia berkeinginan untuk mengembangkan bisnis perusahaan dengan membangun produk, layanan, dan teknologi terbaik. Ia berharap, layanan Uber akan terus tumbuh seiring berjalannya waktu.
(Jek/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: