Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo menjelaskan adanya penolakan dari Direktur Utama PLN Persero, Sofyan Basir terkait skema pengerjaan proyek PLTU Riau 1.
Johannes menginginkan proyek itu dikerjakan melalui tender, sementara Sofyan Basir ingin agar proyek dikerjakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan.
Advertisement
Dalam Perpres itu, setiap penggarapan kelistrikan harus dikerjakan perusahaan negara, diperbolehkan bekerja sama dengan pihak swasta dengan syarat komposisi saham perusahaan negara dalam hal ini PLN atau anak perusahaannya 51 persen.
“Saya maunya tender aja deh biar simple tapi (Sofyan Basir) jangan, yang 51 persen saja,” ujar Kotjo saat memberikan keterangan sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/11).
Setelah mendapat arahan dari Sofyan Basir, Kotjo memerintahkan Rudi Herlambang, Direktur PT Samantaka selaku pemasok batu bara menyiapkan dokumen untuk proses tanda tangan.
Namun, Kotjo diberitahu bahwa anak perusahaan PLN yang ikut menggarap PLTU Riau 1 yakni Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI) tidak memiliki porsi saham sebagaimana ketentuan Perpres 4/2016. Dalam persidangan sebelumnya, PBJI hanya menyetor saham 10 persen saja.
Kekurangan saham PJBI, kata Kotjo, akhirnya ditanggung pihak swasta yakni Chec Huadian sebagai investor dan perusahaan Kotjo, Blackgold Natural Resources (BNR) dengan total keseluruhan sebesar 41 persen.
Ia mengaku keberatan atas hal ini. Namun ditanggapi Sofyan dan Direktur Pengadaan PLN Iwan Supangkat dengan ancaman tidak akan melibatkan perusahaan Kotjo pada proyek PLTU Riau 1, jika tidak mau menanggung porsi saham PJBI.
“Saya ke Beijing (temui Chec Huadian) PLN ancam kalau enggak mau ya sudah kita cari yang lain saja,” kata Kotjo.
“Siapa yang bilang?” tanya jaksa Ronald.
“Pak Sofyan Basir dan Pak Iwan. Karena kan enggak semua investor mau saham minoritas tapi nanggung 41 persen,” tukasnya.
Swasta Tanggung Kekurangan Modal PJBI
Setelah berdiskusi di Beijing dengan pihak investor, akhirnya sepakat kekurangan modal PJBI ditanggung pihak swasta sebagai pinjaman dengan jangka waktu 15 tahun.
“Sampai kapan pinjaman itu?” tanya jaksa.
“Ada pinjaman namanya senior debt, proyek 13,3 persen 9 tahun selesai. Ada junior debt ya itu 41 persen kurang lebih 15 tahun selesai,” tandasnya.
Pada sidang sebelumnya, Sofyan Basir menjelaskan bahwa pinjaman itu tidak menyalahi aturan Perpres 41/2016 dengan alasan secara hukum porsi saham PJBI tetap 51 persen meski bentuknya pinjaman.
“Itu utang jangka panjang, saat awal (swasta) siap membayarkan kami untuk kepentingan PLN. Jadi secara de jure kami punya 51 persen,” ujar Sofyan saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis 25 Oktober 2018.
“Tapi secara substansinya kan tidak memang Perpres 4 nomor 2016 itu gimana?” tanya hakim Joko.
“Tidak ditentukan. Banyak investor yang mau pinjamkan equity itu ke PLN, dalam perjanjiannya disepakati ditandatangani ya ini kenapa menguntungkan PLN,” ujarnya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Advertisement