Liputan6.com, Cox's Bazaar - Komisioner Badan Urusan Kemanusiaan dan Repatriasi Rohingya di Bangladesh mengatakan, proses pemulangan kembali pengungsi Rohingya --yang saat ini berada di kamp pengungsi di Distrik Cox's Bazaar-- ke Myanmar dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan.
"Tidak ada yang dipaksa untuk kembali ke Myanmar," kata Abul Kalam kepada Al Jazeera, dilansir Kamis (15/11/2018).
Komentar itu muncul dari Komisioner Abul Kalam di tengah kabar bahwa pihak berwenang berencana untuk memulai proses repatriasi (pemulangan kembali) lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh, agar pulang ke Rakhine, Myanmar pada Kamis 15 November.
Saat ini diketahui sebanyak 2.260 etnis Rohingya telah dijadwalkan untuk meninggalkan kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar tenggara dalam gelombang repatriasi pertama di bawah skema sukarela yang akan dilakukan pada Kamis esok.
Baca Juga
Advertisement
Para pengungsi itu telah hampir setahun berada di kamp-kamp penampungan di Bangladesh, guna menghindar dari apa yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis yang dilakukan oleh aparat Myanmar.
Namun, prospek repatriasi telah menimbulkan rasa panik di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang terkonsentrasi di distrik Cox's Bazaar. Rasa panik terutama dirasakan oleh gelombang pertama kelompok keluarga yang akan dipulangkan ke Myanmar akhir pekan ini. Para pengungsi mengkhawatirkan, sekembalinya ke Rakhine, mereka akan menghadapi situasi yang tak lebih baik sewaktu mereka melarikan diri.
Beberapa kelompok etnis Rohingya bahkan dilaporkan melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh untuk menghindari dipulangkan ke Myanmar.
"Mereka selamat dari kekejaman sehingga wajar jika mereka takut untuk kembali," Abu Kalam merespons kabar itu.
Ketika ditanya apakah Rohingya akan mendapat jaminan "keamanan dan perlakuan bermartabat" sekembalinya mereka ke Rakhine, Kalam mengatakan, "Semuanya dilakukan sesuai kesepakatan antara Bangladesh dan Myanmar. Saya berharap otoritas Myanmar akan memegang kata-kata mereka."
Ketentuan kesepakatan repatriasi Rohingya antara Bangladesh-Myanmar, bagaimanapun, belum pernah dipublikasikan.
Di sisi lain, Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan, proses repatriasi gelombang pertama pada 15 November adalah "rencana ambisius" dan mengkritik sejumlah kendala pelaksanaannya serta menggarisbawahi "situasi yang tidak kondusif."
Juru bicara senior UNHCR, Chris Melzer mengatakan "masalah logistik" perlu dipecahkan terlebih dahulu.
"Ini adalah masalah pemerintah Bangladesh dan Myanmar. Meskipun kami masih berpikir bahwa kondisinya tidak kondusif sekarang bagi para pengungsi untuk kembali di Myanmar," katanya kepada AFP.
Repatriasi Ditunda?
Seorang pejabat Bangladesh lainnya, yang berbicara dalam kondisi anonimitas, mengakui bahwa pengungsi Rohingya tidak "siap secara mental" untuk kembali.
"Tidak ada yang ingin kembali," tambah pejabat anonim lain, sekaligus mengindikasikan kemungkinan bahwa repatriasi akan ditunda.
"Mereka sering mengatakan kepada kami bahwa mereka lebih baik mati di sini di kamp-kamp (Bangladesh) daripada kembali dan menerima penderitaan mengerikan yang telah mereka alami," tambah pejabat anonim yang berbeda.
Pemerintah Bangladesh belum memberikan keterangan resmi terkait hal tersebut.
Simak video pilihan berikut:
Penyelidik PBB: Tak Ada Jaminan HAM dan Status Kewarganegaraan
Penyelidik PBB mengkritik proses repatriasi (pemulangan kembali) etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh. Ia menilai proses itu terlaksana "terlalu terburu-buru" tanpa adanya "penjaminan hak asasi manusia" bagi kelompok etnis minoritas itu setibanya mereka di Myanmar.
Ketua Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) --yang bernaung di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB-- mengatakan:
"Sangat prihatin sekali karena proses repatriasi itu tidak didukung penjaminan hak terhadap orang Rohingya dan pemberian status kewarganegaraan," kata Marzuki di Wisma Antara Jakarta, Rabu 14 Oktober 2018.
Aparat Myanmar menolak Rohingya sebagai warga negara mereka dan tak memberikan status itu sejak puluhan tahun lamanya. Mereka menyebut Rohingya sebagai 'Benggala', dengan berdalih bahwa 'etnis Rohingya' adalah sebuah definisi palsu dan menyebutnya sebagai kelompok imigran gelap dari Bangladesh.
"Tidak ada satupun perubahan, sampai hari ini di Myanmar, yang mampu memberikan ketenangan bagi Rohingya untuk bisa kembali dan memulai kehidupannya lagi."
Myanmar berencana untuk menampung pengungsi Rohingya yang kembali dari Bangladesh untuk tinggal di sejumlah hunian penampungan yang dikhususkan untuk kelompok etnis minoritas itu. Namun, Marzuki menilai bahwa penanganan seperti itu sama halnya dengan kondisi Rohingya saat mereka mengungsi di Bangladesh.
"Mereka dipulangkan untuk kembali ke kamp-kamp penampungan lagi. Lantas, apa bedanya dengan di Bangladesh."
"Bukti tentang kepemilikan tanah milik orang Rohingya (sebelum mereka mengungsi) telah dihilangkan oleh aparat Myanmar, dibuldozer habis. Bagaimana orang Rohingya bisa memulai kehidupan lagi."
"Beban orang Rohingya tidak semata-mata hilang hanya karena pemerintah Myanmar menyatakan bersedia menerima mereka kembali. Tidak seperti itu. Justru yang ada, penderitaan itu akan berkelanjutan."
"Seolah-olah repatriasi ini hanya ingin dilakukan secepat mungkin. Namun, jaminan atas pemenuhan hak dan pemberian status kewarganegaraan Myanmar terhadap mereka tidak dilakukan."
"Myanmar, Bangladesh, ASEAN harus mendorong agar proses repatriasi itu dilakukan sesuai dengan syarat utama, yakni, mendorong Myanmar untuk memberikan status warga negara Rohingya dan menjamin hak-hak mereka," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.
Advertisement