Indonesia Butuh Kajian Dampak Jangka Panjang tentang Penggunaan Alat Kontrasepsi

BKBBN menutururkan Indonesia perlu melakukan penelitian mengenai dampak jangka panjang penggunaan alat kontrasepsi.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 17 Nov 2018, 19:00 WIB
Indonesia membutuhkan kajian dampak penggunaan alat kontrasepsi. (iStockphoto)

 

Liputan6.com, Malang, Jawa Timur Usai penutupan Konferensi Internasional Dua Tahunan Asia Tenggara mengenai Kependudukan dan Kesehatan 2018, Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Muhammad Rizal Martua Damanik mengungkapkan Indonesia perlu melakukan penelitian soal efektivitas alat kontrasepsizaman now’.

“Nah, bagaimana efektivitas alat kontrasepsi sekarang. Hasil analisisnya gimana sih. Dampak penggunaannya seperti apa. Katakanlah seorang pasien sudah menggunakan IUD (Intrauterine Device) selama 10 tahun itu jadinya (efek) kayak gimana,” ungkap Damanik saat ditemui di di Singhasari Resort, Kota Batu, Malang, Jawa Timur pada Jumat, 9 November 2018.

Di negara-negara lain, sudah dilakukan kajian terhadap penelitian mengenai dampak penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang. Contohnya, jurnal Modification of the Associations Between Duration of Oral Contraceptive Use and Ovarian, Endometrial, Breast, and Colorectal Cancers, yang dipublikasikan di JAMA Oncology pada April 2018 memaparkan, penelitian soal efek jangka panjang penggunaan alat kontrasepsi oral terhadap kejadian kanker ovarium (leher rahim), endometrium (lapisan rahim), payudara, dan kolorektal (usus).

Amerika Serikat juga sudah melakukan penelitian jangka panjang tentang penggunaan alat kontraspesi. Penelitian menggunakan data NIH-AARP Diet and Health Study-National Cancer Institute, pada 1995-1996, yang dilanjutkan memantau partisipan yang sama sampai 2011.

Sebanyak 100.000 partisipan yang diteliti tersebar di enam negara bagian dan dua wilayah metropolitan. Seluruh partisipan adalah wanita yang menggunakan kontrasepsi oral. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan kontrasepsi jangka panjang secara konsisten dikaitkan dengan penurunan risiko kanker ovarium.

“Kami mengamati pengurangan risiko terbesar (penggunaan kontrasepsi oral) untuk kanker endometrium di antara wanita yang berisiko alami penyakit kronis,” tulis peneliti Michels.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:


Tingkatkan kualitas SDM

Selain permasalahan alat kontrasepsi, fokus BKKBN juga peningkatan kualitas SDM (iStockphoto)

Alat kontrasepsi hormonal pun sudah banyak yang menggunakannya. Oleh karena itu, perlu dilihat lagi kajian efek penggunaan jangka panjang seperti apa.

“Nah, Indonesia juga memasuki tahap itu (penelitian jangka panjang alat kontrasepsi). Karena sekarang kita semua ini adalah ‘produk’ dari BKKBN periode 1970,” tambah Damanik.

Bagi generasi sekarang, cara penyampaian alat kontrasepsi harus berbeda. Kampanye alat kontrasepsi perlu ada inovasi kreatif.

“Kalo ngomongnya (terkesan) jadul (jaman dulu) soal KB ya gampang banget deh. Tinggal mencari di internet,” lanjut Damanik.

Fokus kinerja BKKBN saat ini tentang meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Artinya, BKKBN bukan hanya berbicara alat kontrasepsi.

Kontrasepsi menjadi pembicaraan fenomenal pada waktu tahun 1970-2009. “Pada waktu itu, zaman pertama kali didirikan BKKBN, yang terus disuarakan untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk melalui alat kontrasepsi. Jadi penekanannya pada kontrasepsi,” tambah Damanik.


Stunting dan tren menikah

Perlu juga kajian soal tren menikah sekarang. copyright unsplash/Gades Photography

Kinerja BKKBN bukan hanya berbicara alat kontrasepsi saja, melainkan bidang kependudukan secara luas. Hal ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia. Permasalahan stunting (kurang gizi kronis) ikut menjadi perhatianBKKBN.

“Angka stunting itu tinggi. Ini menjadi tugas BKKBN juga soal stunting. Stunting itu sesuatu yang kronis, bukan akut. Kalo akut ibaratnya baru dicubit langsung luka, tapi kalau kronis sudah lama (jangka panjang) dialami,” Damanik menegaskan.

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 yang dikeluarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI melaporkan, proporsi status stunting turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen. Proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6 persen (Riskesdas 2013) menjadi 17,7 persen.

Fenomena yang juga perlu dikaji BKKBN, yakni tren menikah. Misalnya, alasan orang menikah dengan pasangan yang sesama umur serta bidang yang sama.

“Kenapa sih orang cenderung menikah dengan orang yang seumuran? Kok enggak mau (menikah) dengan usianya yang 5 tahun lebih tua. Maunya (pilih pasangan) yang kira-kira (usianya) sama. Atau soal kenapa menikah sesama anak (dari latar belakang bidang) ekonomi dengan ekonomi,” ungkap Damanik.

Menurut Damanik, fenomena di atas ada termasuk fenomena baru yang ada dalam bidang dinamika kependudukan. Oleh karena itu, perlu dikaji secara ilmiah lewat penelitian. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya