Berkaca dari Kasus Pembunuhan Sekeluarga di Bekasi dan Kekuatan Silaturahmi

Iqrak menjelaskan bahwa orang yang melakukan pembunuhan karena adanya masalah interpersonal berarti dia telah mendefinisikan bahwa cara yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah adalah dengan kekerasan.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Nov 2018, 20:19 WIB
Polisi membawa tersangka pembunuhan satu keluarga di Kota Bekasi saat gelar perkara di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (16/11). Tersangka berinisial HS masih memiliki hubungan saudara dengan korban. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku pembunuhan sadis sebuah keluarga di Bekasi sudah terungkap. Pelaku dengan inisial HS diketahui masih ada hubungan darah dengan istri, dan kerap menginap di kontrakan korban.

Sayang, kondisi HS yang adalah pengangguran di usia prima membuat Gaban Nainggolan (38), kakak iparnya dan bahkan Maya kakaknya sendiri menyebut dirinya sebagai orang tak berguna. Padahal, pelaku membantu mengelola kosan milik suami istri itu.

Ucapan 'orang tak berguna' yang tidak hanya sekali dua kali tetapi sering ia dengar membekas bahkan menusuk hati HS. Rasa sakit hatinya membuatnya melakukan tindakan keji yakni membunuh kakaknya sendiri, kakak ipar, bahkan dua keponakannya yang tidak bersalah.

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin menyatakan berbagai penelitian memperlihatkan bahwa latar belakang dari kasus-kasus pembunuhan dikarenakan adanya permasalahan dalam interaksi antara pelaku dan korban atau masalah interpersonal.

"Masalah interpersonal itu bentuknya bisa macam-macam bisa dalam konteks keluarga, dalam relasi pekerjaan, tetangga, pertemanan. Dalam interaksi itu, ada perkataan yang dianggap oleh pelaku menghina sehingga memunculkan dendam," ujar Iqrak saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (16/11/2018).

"Nah itu pula yang membuat mengapa kasus pembunuhan itu umumnya dilakukan oleh orang yang dikenal korban, secara kriminologis memang lebih dominan seperti itu sebabnya," tambahnya.

Iqrak juga menjelaskan bahwa orang yang melakukan pembunuhan karena adanya masalah interpersonal berarti dia telah mendefinisikan bahwa cara yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah adalah dengan kekerasan.

"Dia mendefinisikan perbuatan yang dilakukan korban adalah sesuatu yang menyakitkan bagi dirinya, dan kekerasan adalah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan," lanjutnya.

Iqrak menyebut, apabila ada mekanisme seperti silaturahmi, kunjung mengunjungi yang memungkinkan pihak-pihak bermasalah bertemu untuk berbicara baik-baik dengan kepala dingin, mungkin pembunuhan itu tidak akan terjadi.

Menurutnya, tidak berjalannya mekanisme tersebut bisa terjadi karena dua hal. Pertama, mekanisme itu mungkin menghilang karena orang sekarang sudah sibuk dengan masalahnya sendiri dan jarang silahturahmi sehingga waktu yang mereka alokasikan untuk berbicara hati ke hati itu semakin berkurang.

"Kedua, mekanisme itu tidak muncul. Berarti memang pada saat usia remaja atau anak-anak, ada pola sosialisasi yang agak keliru," ujar Iqrak.

Misalnya, bila ada suatu masalah dan anak menyelesaikan dengan kekerasan, harusnya anak tersebut diberi pengertian bahwa ada cara lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan ketimbang harus menggunakan kekerasan.

"Pola-pola sosialisasi seperti itu yang sudah mulai tidak terbentuk di masyarakat kita," dia menambahkan.

 


Pola Komunikasi

Polisi mengawal tersangka pembunuhan satu keluarga di Kota Bekasi saat gelar perkara di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (16/11). Polisi mengungkapkan tersangka HS membunuh keluarga Diperum Nainggolan seorang diri. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Senada dengan Iqrak, Yogo Tri Hendiarto yang juga adalah kriminolog Universitas Indonesia menyebut pembunuhan dengan alasan ekspresif terjadi akibat pola komunikasi yang terjadi antara korban dan pelaku sebelumnya.

"Biasanya pembunuhan ekspresif lebih terpola karena sudah kenal antara pelaku dan korban, alasannya lebih personal, kalimat-kalimat verbal yang digunakan oleh korban, mohon maaf, bisa memberikan pengaruh secara psikis bagi pelakunya," papar Yogo saat dihubungi secara terpisah oleh Liputan6.com, Jumat (16/11/2018).

Yogo mencontohkan kasus seorang pria yang tega membunuh keluarga tetangganya yang sering mengolok-olok pelaku dengan sebutan gajah. Ia mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam menjaga perilaku, baik secara sikap maupun verbal. Kalimat-kalimat baik dinilainya menjadi sangat penting saat bereaksi terhadap suatu masalah.

"Kata 'gajah' itu bisa berbeda-beda untuk setiap individu," ujarnya.

Di sisi lain, Yogo menyebut berulangnya kasus pembunuhan dengan pola yang sama disebabkan oleh pola interaksi yang bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kejadian yang sama, manusia perlu kembali menghidupi nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, seperti nilai agama dan ajaran orang tua.

"Bagaimana manajemen individu terhadap konflik dan cara bernegosiasi (saat terjadinya konflik) itu menjadi penting sekali," dia memungkasi.

(Liputan6.com/Mellisa Octavianti)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya