Liputan6.com, Sulu - Lima tentara Filipina tewas dan 23 lainnya terluka saat militer negara itu (AFP) bentrok dengan lebih dari 50 anggota Abu Sayyaf di Sulu, satu pulau di Filipina Selatan, kata seorang juru bicara militer pada Sabtu 17 November 2018.
Let. Kol. Gerry Besana dari Komando Militer Mindanao Barat, mengatakan baku-tembak sengit terjadi sekitar pukul 16.00 waktu setempat pada Jumat 16 November di Kota Pantai Patikul di Provinsi Sulu.
Baku-tembak tersebut berkecamuk selama 1 jam 30 menit di satu desa di pinggir Patikul, dalam sebuah operasi pencarian sandera yang ditahan Abu Sayyaf.
"Ini merupakan bagian dari misi kami untuk menyelamatkan sandera yang ada," kata Besana, seperti dikutip dari Inquirer, Minggu (18/11/2018). Ia mengatakan, ada sekitar 10 orang sandera yang saat ini masih ditahan oleh Abu Sayyaf.
Besana juga menyatakan militer masih menyelidiki apakah kelompok Abu Sayyaf juga kehilangan anggotanya.
Baca Juga
Advertisement
Bentrokan pada Jumat 16 November adalah salah satu yang paling mematikan sejak faksi Abu Sayyaf bergabung dengan teroris asing dan Maute dari Filipina dalam merebut kota Marawi tahun lalu, yang menyebabkan pertempuran lima bulan yang menewaskan lebih dari 1.100 orang.
Abu Sayyaf memiliki nama buruk karena melakukan pembunuhan, penculikan untuk minta tebusan dan serangkaian pemboman di Pulau Mindanao.
Sejak 2016, anggota kelompok itu mulai menculik para pelaut di perairan antara Indonesia, Malaysia dan Filipina. Para teroris juga telah menyerbu dan melakukan penyanderaan di resort di Malaysia.
Sebagian besar sandera telah ditebus untuk sejumlah besar uang. Namun yang lain bernasib kurang beruntung, dengan beberapa orang dilaporkan dipenggal, termasuk dua turis Kanada pada tahun 2016.
Sedangkan pada September lalu, dua ABK WNI diduga disandera oleh Abu Sayyaf, setelah diculik saat melaut di perairan Sabah, Malaysia.
Simak video pilihan berikut:
Kelompok Ekstremis Bersenjata Kembali Bangkit di Filipina?
Eksistensi ISIS dan kelompok terafiliasi kembali mengancam Pulau Mindanao di selatan Filipina, di mana diperkirakan terdapat puluhan hingga seratus militan asing atau foreign terrorist fighter (FTF) yang mendukung kelompok separatis lokal, kata seorang ahli dari lembaga analis lokal.
Pada Mei tahun lalu, kota Marawi dikuasai oleh kelompok pro-ISIS, dan butuh pengepungan hingga lima bulan berdarah oleh tentara untuk merebutnya kembali.
Hal itu terpaksa dibayar mahal. Sebanyak 1.200 orang dilaporkan tewas selama pertempuran yang berpusat di Marawi, Pulau Mindanao.
Tapi satu tahun setelah pembebasan Marawi, Prof Rommel Banlaoi, ketua lembaga think-tank the Philippine Institute for Peace, Violence and Terrorism Research, mengatakan bahwa ia telah melihat catatan tentang sekitar 40-100 militan asing yang masuk ke Pulau Mindanao, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin 12 November 2018.
Prof Rommel menilai bahwa perpaduan militan asing dan ekstremis lokal berkeinginan membangun kembali pengaruh terornya di Asia Tenggara.
Ditambahkan olehnya, bahwa para FTF di Mindanao sebagian besar melakukan perjalanan dari negara tetangga Indonesia, Malaysia, juga dari Pakistan, Bangladesh, dan Timur Tengah.
Sementara itu, seorang perwira intelijen berpangkat tinggi memberikan angka-angka yang kurang lebih serupa dengan catatan Banlaoi.
"Ada sekitar 40 militan asing yang tersisa di negara ini, tetapi puluhan lainnya berada dalam daftar pantauan," kata petugas, yang meminta untuk ditulis anonim.
Kehadiran militan asing diketahui memberi energi dan menguatkan kelompok pro-ISIS setempat. Bahkan, ada kekhawatiran tentang meningkatnya kemungkinan untuk menyatakan kekhalifahan baru di Mindanao.
Ada juga dukungan berkelanjutan untuk kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di kalangan muslim setempat. Banyak dari mereka merupakan pengungsi dari konflik Marawi, yang merasa tidak puas dengan korupsi yang merajalela, serta janji-janji pemerintah yang menghancurkan perdamaian dan otonomi di Mindanao.
Advertisement