Liputan6.com, Yangon - Otoritas keimigrasian Myanmar menangkap sebuah perahu berisi 106 orang yang dicurigai sebagai Rohingya, di lepas pantai Yangon --kota terbesar Myanmar-- pada 16 November 2018 lalu, kata pejabat lokal.
Kapal itu diduga merupakan gelombang baru orang Rohingya yang berupaya keluar dari Myanmar, di mana mereka mengalami diskriminasi dan persekusi berkelanjutan. Sementara itu, dalam laporannya, PBB menyebut bahwa tentara Myanmar melakukan upaya genosida terhadap etnis minoritas itu pada tahun lalu --yang memicu gelombang pengungsi besar-besaran dari Rakhine ke Bangladesh dan beberapa wilayah lain di Asia Tenggara.
Aye Mya Mya Myo, seorang legislator majelis rendah untuk partai Nasional Liga untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, memposting foto-foto penangkapan itu di Facebook, menggambarkan sebuah perahu reyot yang penuh sesak dengan wanita mengenakan jilbab, pria dan anak-anak. Pada beberapa gambar, petugas polisi terus mengawasi orang-orang yang berjongkok di atas kapal.
Mya Myo mengatakan, ada 50 pria, 31 wanita dan 25 anak-anak di perahu, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu (18/11/2018).
Baca Juga
Advertisement
Kapal itu menyerupai kapal-kapal Rohingya yang biasanya digunakan untuk melarikan diri dari kondisi layaknya apartheid di Rakhine, di mana mereka ditolak untuk bergerak bebas dan tak memiliki akses ke pendidikan dan kesehatan yang layak.
"Ada kemungkinan mereka Bengali dari Rakhine. Seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Hyaw Htay, seorang petugas imigrasi dari kotapraja Kayauktan.
Banyak orang di Myanmar menyebut Rohingya sebagai "Bengali", menyiratkan bahwa mereka adalah imigran gelap dari Bangladesh dan bukan warga negara Myanmar.
Pejabat dan pekerja kemanusiaan mengatakan pekan lalu bahwa puluhan orang Rohingya di Myanmar dan Bangladesh telah naik kapal untuk mencoba mencapai Malaysia dalam beberapa pekan terakhir, setelah akhir musim hujan pada awal Oktober. Mereka diduga kuat melakukan mobilitas dengan membayar jasa jaringan penyelundup manusia.
Para pengamat memperingatkan, karena rute penyelundupan ke Thailand telah terganggu dan perjalanan itu berbahaya dan mahal, semakin banyak Rohingya memilih perjalanan yang lebih murah dan lebih pendek lewat perairan di sepanjang pantai Teluk Benggala selatan ke Yangon, untuk kemudian mencapai Semenanjung Malaya.
Selama bertahun-tahun, Rohingya di perbatasan Myanmar telah menaiki perahu yang disediakan oleh jaringan penyelundup di bulan kering antara November dan Maret, ketika laut tenang. Perjalanan berbahaya ke Thailand dan Malaysia, sering dilakukan di kapal yang penuh sesak, telah menelan banyak korban jiwa.
Thailand menindak jaringan penyelundupan manusia setelah menemukan serangkaian kuburan massal pada tahun 2015, yang mengarah ke krisis ketika penyelundup meninggalkan kargo manusia mereka dan meninggalkan kapal yang terapung di Laut Andaman.
Simak video pilihan berikut:
Belum Ada Jaminan HAM dari Myanmar untuk Repatriasi Rohingya
Penyelidik PBB mengkritik proses repatriasi (pemulangan kembali) etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh. Ia menilai proses itu terlaksana "terlalu terburu-buru" tanpa adanya "penjaminan hak asasi manusia" bagi kelompok etnis minoritas itu setibanya mereka di Myanmar.
Pihak berwenang berencana untuk memulai proses repatriasi (pemulangan kembali) lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh, agar pulang ke Rakhine, Myanmar pada Kamis 15 November.
Saat ini diketahui sebanyak 2.260 etnis Rohingya telah dijadwalkan untuk meninggalkan kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar tenggara dalam gelombang repatriasi pertama di bawah skema sukarela yang akan dilakukan pada Kamis esok.
Para pengungsi itu telah hampir setahun berada di kamp-kamp penampungan di Bangladesh, guna menghindar dari apa yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis yang dilakukan oleh aparat Myanmar.
Namun, prospek repatriasi telah menimbulkan rasa panik di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang terkonsentrasi di distrik Cox's Bazaar. Rasa panik terutama dirasakan oleh gelombang pertama kelompok keluarga yang akan dipulangkan ke Myanmar akhir pekan ini. Para pengungsi mengkhawatirkan, sekembalinya ke Rakhine, mereka akan menghadapi situasi yang tak lebih baik sewaktu mereka melarikan diri.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) --yang bernaung di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB-- mengatakan:
"Sangat prihatin sekali karena proses repatriasi itu tidak didukung penjaminan hak terhadap orang Rohingya dan pemberian status kewarganegaraan," kata Marzuki di Wisma Antara Jakarta, Rabu 14 November 2018.
Aparat Myanmar menolak Rohingya sebagai warga negara mereka dan tak memberikan status itu sejak puluhan tahun lamanya. Mereka menyebut Rohingya sebagai 'Benggala', dengan berdalih bahwa 'etnis Rohingya' adalah sebuah definisi palsu dan menyebutnya sebagai kelompok imigran gelap dari Bangladesh.
"Tidak ada satupun perubahan, sampai hari ini di Myanmar, yang mampu memberikan ketenangan bagi Rohingya untuk bisa kembali dan memulai kehidupannya lagi."
Myanmar berencana untuk menampung pengungsi Rohingya yang kembali dari Bangladesh untuk tinggal di sejumlah hunian penampungan yang dikhususkan untuk kelompok etnis minoritas itu. Namun, Marzuki menilai bahwa penanganan seperti itu sama halnya dengan kondisi Rohingya saat mereka mengungsi di Bangladesh.
"Mereka dipulangkan untuk kembali ke kamp-kamp penampungan lagi. Lantas, apa bedanya dengan di Bangladesh."
"Bukti tentang kepemilikan tanah milik orang Rohingya (sebelum mereka mengungsi) telah dihilangkan oleh aparat Myanmar, dibuldozer habis. Bagaimana orang Rohingya bisa memulai kehidupan lagi."
"Beban orang Rohingya tidak semata-mata hilang hanya karena pemerintah Myanmar menyatakan bersedia menerima mereka kembali. Tidak seperti itu. Justru yang ada, penderitaan itu akan berkelanjutan."
"Seolah-olah repatriasi ini hanya ingin dilakukan secepat mungkin. Namun, jaminan atas pemenuhan hak dan pemberian status kewarganegaraan Myanmar terhadap mereka tidak dilakukan."
"Myanmar, Bangladesh, ASEAN harus mendorong agar proses repatriasi itu dilakukan sesuai dengan syarat utama, yakni, mendorong Myanmar untuk memberikan status warga negara Rohingya dan menjamin hak-hak mereka," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.
Advertisement