Liputan6.com, Jakarta Harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani diketahui terus turun. Pemerintah diminta ikut menurunkan pungutan ekspor(PE) untuk mendongkrak harga TBS dan meningkatkan daya saing minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di luar negeri.
Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengungkapkan penurunan harga TBS di tingkat petani ini sudah berlangsung sejak lebaran atau bulan Juni lalu. Di awal penurunan harga TBS, petani masih belum merasakan.
Baca Juga
Advertisement
“Namun harga saat ini, kami semuanya menjerit. Karena itu, kami minta pemerintah harus segera turun tangan untuk menyelamatkan harga TBS petani,” jelas dia, Senin (19/11/2018).
Dia pun mengaku jika Apkasindo telah mengirim surat ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Surat tersebut, berisi permintaan penurunan tarif pungutan ekspor karena tanki timbun sawit sangat penuh. Dampaknya, mengurangi pembelian TBSpetani.
“Oleh karena itu, tarif pungutan ekspor sebaiknya diturunkan sementara supaya ekspor meningkat, lalu harga CPO dan TBS dapat terangkat kembali,” kata Rino.
Dia mengungkapkan harga TBS di pabrik kelapa sawit (PKS) di Sumatera antara Rp 750-Rp 1.050 per kg. Sementara itu harga di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Barat (Kalbar)lebih rendah jika dibandingkan harga TBS di Sumatera.
Harga TBS di Pulau Sulawesi dan Papua lebih rendah, hanya Rp 500 hingga Rp 700 per kg. Padahal biaya pengelolaan TBS yang dikeluarkan petani yang terdiri dari biaya perawatan, pemupukan dan panen sekitarRp 800 hingga Rp 900 per kg.
“Ini artinya, jika petani menjual TBS di bawah Rp 800 per kg, maka itu adalah jual rugi,” ujar dia.
Menurut Rino, perbedaan harga TBS di antara pulau tersebut disebabkan keberadaan pabrik kelapa sawit (PKS). Di mana untuk Pulau Sumatera jumlah PKS lebih banyak jika dibandingkan dengan di Kalimantan ataubahkan di Sulawesi dan Papua.
Faktor Pemicu Penurunan Harga
Penurunan harga CPO disebabkan beberapa sentimen negatif yang bersifat fundamental seperti stok minyak nabati dunia yang melimpah, tingkat ekspor yang rendah, dan terjadinya penurunan harga minyak dunia.
Faktor eksternal lainnya karena tingginya bea masuk yang ditetapkannegara importir. Pasokan CPO yang melimpah diproyeksikan masih akan terjadi hingga akhir tahun dan akan menekan harga komoditi sawit.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 114 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana PerkebunanKelapa Sawit (BPDP-KS) menetapkan tarif pungutan ekspor CPO dan CPKOsebesar USD 50 per ton.
Sementara itu, RBD (refined, bleached, and deodorized) Palm Olein sebesar USD 30 per ton, RBD palm oil dan PKO sebesar USD 20 per ton, bungkil dan residu sawit sebesar USD 20 per ton hingga cangkang kernelsawit sebesar USD10/ton.
Idealnya, penurunan tarif pungutan ekspor dibuat berjenjang dan tetap memberi ruang bagi pengembangan industri hilir. Misalnya, tarifpungutan ekspor CPO menjadi USD30 per ton, RBD (refined, bleached, anddeodorized) Palm Olein menjadi USD10 per ton dan produk dalam kemasandibebaskan dari pungutan ekspor.
“Kami minta ke pemerintah agar PE itu diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan agar TBS petani ini bisa mendapatkan harga yang wajar,” ujar Anggota Komisi VI DPR Eriko Sotarduga, seperti dikutip Senin (19/11/2018).
Apabila PE diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan diharapkan bisa mendorong para pengusaha atau eksportir segera mengapalkan CPO ke negara-negara tujuan ekspor.
Selama ini, kata Eriko, banyak pengusaha yang masih menahan CPO miliknya pada tangki-tangki penimbunan seiring rendahnya harga CPO di pasar internasional.
Saat ini harga CPO internasional di kisaran USD 500 per metrikton. Dengan harga itu, harga TBS di tingkat petani seharusnya masih sekitar Rp 1.300 per kilogram (kg). “Perhitungannya, harga TBS itu 18 persen-20 persen dari harga per kg CPO internasional,” tutur dia.
Dia juga berharap, menyikapi penurunan harga TBS ini, harus ada sinergi yang baik antara pemerintah, pengusaha dan asosiasi petani.
Selain itu, perlu ada kolaborasi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam rangka membuka pasar-pasar ekspor baru.
“Kemenlu melalui kedutaan besarnya di luar negeri harus intens membukapasar baru. Walaupun volumenya kecil, tidak apa-apa, yang penting dimulai,” kata Eriko.
Karena selama ini, Indonesia masih mengandalkan pasar-pasar ekspor tradisional seperti China, India dan Pakistan. Pasar-pasar di kawasanTimur Tengah dan Afrika merupakan pasar potensial untuk dimasuki.
Advertisement