Resistensi Antimikroba pada Hewan Ternak Ancam Kesehatan Manusia

Perlu diketahui, resistensi antimikroba pada hewan ternak dapat mengancam kesehatan manusia setelah manusia mengkonsumsi daging hewan ternak.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 21 Nov 2018, 10:00 WIB
Resistensi antimikroba ancam kesehatan manusia. (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) pada hewan ternak bisa menjadi ancaman bagi kesehatan manusia. Kondisi resistensi antimikroba terjadi saat mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan atau bermutasi. Ketika hewan ternak tersebut sakit, lalu diberikan obat-obatan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan, mikroorganisme yang sudah bermutasi menjadi tidak mempan terhadap pengaruh obat-obatan.

Pada akhirnya, mikroorganisme semakin sulit untuk diberantas dengan obat-obatan. Bakteri resisten pada hewan ternak yang sulit diberantas dengan penggunaan obat-obatan untuk kesembuhan hewan dapat menyebar ke tubuh manusia. Hal itu terjadi jika manusia mengkonsumsi hewan ternak yang mengandung bakteri resisten pada tubuhnya.

Dari laporan Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat,  proses bakteri resisten terjadi pada hewan ternak dapat dibuktikan dari penggunaan antibiotik. Antibiotik dapat memberantas sebagian besar bakteri dalam tubuh hewan ternak. Tapi bakteri yang resisten terhadap antibiotik akan bertahan hidup. Bahkan bakteri itu berkembang biak, yang kemudian mengendap di tubuh hewan ternak. Kondisi inilah yang disebut sebagai residu antibiotik. Bila manusia terkontaminasi bakteri resisten akan menyebabkan kematian.

Harri Parathon dari Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, para peternak harus berperan aktif dalam mengendalikan bakteri yang kebal terhadap obat antimikroba.

“Produk unggas yang dapat menyimpan residu, lalu masuk ke tubuh manusia ketika dikonsumsi sangat berbahaya,” jelas Harri pada acara Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia 2018, sebagaimana keterangannya yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Selasa (20/11/2018).

Penggunaan antibiotik pada hewan ternak untuk memacu pertumbuhan dapat memicu terjadinya resistensi antimikroba. Melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 tahun 2017, pemerintah telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) pada pakan ternak. Aturan itu efektif berlaku per Januari 2018. Upaya ini dilakukan mengendalikan penggunaan antibitiok  pada sektor peternakan sekaligus mendorong para peternak menghasilkan produk hewan ternak yang sehat untuk masyarakat.

 

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:


Manusia menjadi resisten antibiotik

Manusia akan mengalami resistensi antibiotik dari paparan hewan ternak yang resistensi antimikroba. (iStockphoto)

Manusia yang terpapar bakteri resisten dari hewan ternak juga akan sulit disembuhkan. Jika pasien sakit, maka obat antibiotik yang biasa digunakan tidak akan mampu memusnahkan bakteri. Resistensi antibiotik pun dialami pasien. Ada juga penyebab manusia mengalami resisten antibiotik. Terlalu sering minum antibiotik membuat bakteri lama-lama menjadi kebal. Bakteri bisa berkembang biak lebih banyak dan bermutasi.

Dokter Spesialis Anak yang juga mewakili Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) mengungkapkan, ia sering menghadapi pasien yang tidak bisa disembuhkan karena obat-obatan tidak lagi mempan membunuh kuman penyakit. Pada akhirnya, pasien itu meninggal dunia. Perilaku petugas kesehatan yang mudah memberikan antibiotik dan akses masyarakat yang mudah membelinya dinilai Yulianto sebagai pemicu terjadinya resistensi antimikroba.

“Kami pernah melakukan suvei. Hasilnya menyatakan, dari tahun ke tahun penggunaan antibiotik untuk batuk pilek dan diare tetap tinggi, yaitu sekitar 60 persen. Orang ke puskesmas karena batuk pilek juga dikasih antibiotik. Kalau tidak dikendalikan, 10 juta jiwa akan meninggal setiap tahun pada 2050. Itu berarti setiap satu menit, ada 19 kematian akibat infeksi bakteri yang tidak bisa disembukan," papar Yulianto.

Pun begitu yang dikemukakan Harri. Saat ini obat kolistin sebagai agen terakhir untuk memerangi bakteri yang resisten terhadap antibiotik terkuat ternyata telah banyak dilaporkan tidak efektif lagi. Obat kolistin adalah obat obat antibiotik untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri tertentu,

“Makin sering kita minum antibiotik, bakteri makin bermutasi dan menjadi ganas. Demikian juga berlaku pada hewan ternak,” ujar Harri.


Alternatif pakan lain dan biosekuriti

Peternak dapat memberikan pakan lain dan menanamkan biosekuriti. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Kepala Sub Direktorat Pengawas Obat Hewan, Kementerian Pertanian, Ni Made Ria Isriyanthi menyampaikan, penggunaan antibiotik di sektor peternakan Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Fenomena tersebut terlihat dari hasil survei penggunaan antimikroba (antimicrobial usage/AMU) yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama FAO Indonesia pada tahun 2017. Survei dilakukan di  tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan yang merupakan sentra produksi unggas.

“Hasilnya cukup mencengangkan, 81,4 persen peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan, 30,2 persen peternak menggunakan antibiotik untuk pengobatan serta masih ada 0,3 persen yang menggunakan antibiotik untuk pemacu pertumbuhan,” jelas Ria.

Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia yang juga komisi ahli Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Tri Satya Putri Naipospos mengatakan, pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara nomor 5 pengkonsumsi antibiotik tertinggi di dunia. Tanpa adanya upaya pengendalian, posisi ini dapat menanjak menjadi posisi ke-4 pada tahun 2030.

“Karena populasi ternak kita cukup tinggi. Apalagi untuk unggas,” sebutnya.

Untuk mengganti antibiotik pemacu pertumbuhan ternak, Tri Satya menyarankan, peternak bisa menggunakan alternatif lain di antaranya  probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial maupun enzim. Yang lebih penting peternak harus mampu menerapkan biosekuriti tiga zona (merah, kuning, hijau). Zona merah adalah zona kotor. Setiap orang yang masuk diharapkan mengganti alas kaki dan mencuci tangan terlebih dulu.

Pada area zona kuning ada baju khusus untuk dikenakan selama berkeliling di peternakan tersebut. Ketika memasuki zona hijau, seseorang harus mengganti kembali alas kaki. Catra beternak dengan bersih, termasuk melakukan vaksinasi dengan tepa juga dilakukan.Hal ini bertujuan unggas lebih sehat dan produktif, jauh dari penyakit, dan infeksi.

“Antibiotik tetap boleh digunakan. Tapi hanya untuk pengobatan dan diberikan oleh dokter hewan serta digunakan sesuai dengan petunjuknya,” pungkas Ria.


Bakteri dan kuman bermutasi

Bakteri dan kuman pada hewan dan manusia terus bermutasi. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dalam paparannya menyampaikan, bakteri dan kuman pada hewan dan manusia bermutasi seiring zaman. Bakteri yang bermutasi itu makin lama makin kebal terhadap pemberian obat antibiotik.  Para pakar kesehatan hewan dunia telah mengelompokan pathogen (kuman berbahaya penyebab penyakit) dari tiga area, yaitu 1.415 pathogen pada manusia, 372 pathogen pada karnivora domestik (anjing, kucing, dsb), dan 616 pathogen penyakit pada ternak.

“Dalam dekade terakhir memang wabah penyakit akibat virus menjadi sorotan dunia, seperti virus flu H1N1, Ebola, Mers-CoV dan Zika. Namun, ternyata perubahan karakter pathogen juga sedang terjadi pada bakteri, yang secara terus menerus bertambah kebal dari berbagai (pemberian obat) golongan antibiotik,” papar Rama Fauzi dari Kemenko PMK.

Tak ayal, bila bakteri dan kuman resisten pada hewan ternak yang terpapar pada manusia akan sulit disembuhkan. Pada jurnal “Keberadaan Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan (Susu dan Daging)", yang ditulis Yuningsih dari Balai Penelitian Veteriner, penggunaan antibiotik sebagai pengobatan  atau imbuhan pakan dapat meningkatkan produksi ternak. Jumlah produksi ternak sesuai  target yang diinginkan para peternak.

Di sisi lain, penggunan antibiotik yang tidak beraturan (tidak sesuai dosis, dosis sembarangan) dapat menyebabkan residu dalam jaringan- jaringan atau organ hewan. Residu itu dapat membahayakan bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya produk hewan ternak.

Dari laporan jurnal yang diterbitkan pada Litbang Peternakan dan Pertanian, manusia yang terpapar residu antibiotik hewan ternak menyebabkan reaksi alergi. Hal ini mengakibatkan peningkatan alergi, yang mana akan mengarah pada reaksi resistensi antibiotik. Efek ini terjadi bila manusia terpapar residu akibat mengkonsumsi produk hewan ternak yang resistensi antimikrobal dalam konsentrasi rendah selama jangka waktu yang lama.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya