Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah berjangka dunia naik. Kenaikan terpicu laporan adanya penarikan dari persediaan minyak Amerika Serikat (AS), potensi sanksi Uni Eropa terhadap Iran dan kemungkinan pemotongan produksi OPEC.
Melansir laman Reuters, Selasa (20/11/2018), harga minyak mentah Brent naik 3 sen menjadi USD 66,79 per barel. Harga ini menguat di akhir sesi setelah sebelumnya yang di posisi terendah USD 65,27 per barel.
Adapun harga minyak mentah berjangka AS diperdagangkan 30 sen lebih tinggi menjadi USD 56,76 per barel.
Baca Juga
Advertisement
Pasar minyak sedang berjuang untuk menemukan pijakan yang kuat setelah harga turun lebih dari USD 20 per barel sejak awal Oktober karena kekhawatiran kelebihan pasokan global.
"Pasar membutuhkan goncangan kuat dari tekanan negatif untuk bergerak turun lebih jauh," kata Gene McGillian, Direktur Riset Energi Tradition Energy di Stamford, Connecticut. "Kami telah melihat eksodus yang signifikan dari banyak panjang spekulatif di pasar," jelas dia.
Pasar memangkas kerugian di awal hari perdagangan di AS ketika penyedia informasi energi Genscape melaporkan bahwa persediaan minyak mentah turun pada minggu terakhir ini. Meski harga kemudian menguat saat penutupan.
Para menteri luar negeri Uni Eropa mendukung keputusan pemerintah Prancis untuk memberi sanksi kepada warga negara Iran yang dituduh melakukan plot bom di Prancis, kata para diplomat. Itu bisa ikut mempengaruhi harga minyak kembali.
Sanksi AS terhadap Iran, yang diberlakukan pada bulan November, telah menurunkan permintaan minyak di pasar sedikit daripada perkiraan. Ini karena AS telah memberikan keringanan kepada beberapa pelanggan minyak Iran.
OPEC
Organisasi Negara Pengekspor Minyak mendorong produsen sekutunya termasuk Rusia untuk bergabung dalam pemangkasan output 1 juta hingga 1,4 juta barel per hari.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan Rusia berencana menandatangani perjanjian kemitraan. Rincian kerja sama itu akan dibahas pada pertemuan OPEC di Wina, 6 Desember 2018.
Adapun stok minyak mentah AS telah tumbuh selama delapan minggu berturut-turut, dan data pekan lalu menunjukkan persediaan membengkak dari kondisi dalam setahun.
Harga minyak Brent hampir mencapai 25 persen di bawah harga awal Oktober 2018 di USD 86,74. Ini bukti terjadinya perlambatan permintaan global sementara output dari Amerika Serikat, Rusia dan Arab Saudi mencapai posisi tertinggi bersejarah.
"Harga minyak naik (pekan lalu) pada harapan OPEC dan mitra akan bertindak untuk membalikkan sentimen bearish," kata ahli strategi OANDA Stephen Innes.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China juga membuat para investor lebih berhati-hati tentang prospek pertumbuhan permintaan minyak.
Advertisement