Liputan6.com, Kuala Lumpur - Otoritas anti-korupsi Malaysia telah membuka kembali penyelidikan terhadap kasus pembelian kapal selam yang diperdebatkan 16 tahun lalu, yang melibatkan mantan perdana menteri Najib Razak.
Sejak kalah dalam pemilihan Mei, Najib telah dituduh melakukan beberapa pelanggaran hukum dan telah menjadi sasaran penyelidikan korupsi.
Dikutip dari The Straits Times pada Selasa (20/11/2018), beberapa di antaranya terkait dengan skandal miliaran dolar AS pada dana investasi negara, 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Najib Razak mengaku tidak bersalah atas semua tuduhan tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia (MACC) kini menduga ada keterlibatan Najib dalam dugaan ada suap pada penjualan dua kapal selam kelas Scorpene ke Malaysia oleh produsen asal Prancis, DCN International (DCNI), pada tahun 2002.
Saat itu, Najib menjabat sebagai menteri pertahanan, tulis surat kabar lokal The Star, mengutip sumber MACC.
Satu sumber yang dikutip oleh The Star mengatakan, Najib dipanggil untuk memberikan pernyataan terkait pembelian kapal selam pada hari Senin, setelah diperiksa atas dugaan korupsi panel listrik tenaga surya untuk sekolah-sekolah di Sarawak.
Pihak penyidik disebut akan mengambil kesaksian dari beberapa orang, termasuk mantan pembantu Najib, Abdul Razak Baginda, yang sedang diselidiki oleh keuangan Prancis terkait pembelian kapal selam.
Investigasi sebelumnya oleh pihak berwenang Malaysia, tidak menemukan bukti yang menghubungkan Najib Razak dengan dugaan korupsi dalam kesepakatan itu.
Para pembantu Najib tidak segera menanggapi permintaan untuk berkomentar. Bersama dengan para pendukungnya, ia secara konsisten membantah melakukan kesalahan dalam kesepakatan kapal selam.
Simak video pilihan beirkut:
Menghasilkan Komisi Triliunan
Saat ini, DCNI telah berganti nama menjadi DCNS, yang berada di bawah naungan Naval Group, di mana sepertiga sahamnya dimiliki oleh perusahaan pertahanan Prancis, Thales.
Dugaan suap pada kesepatan pembelian kapal selam itu mulai diselidiki oleh otoritas Prancis sejak beberapa pekan terakhir.
Hal itu dilakukan setelah kelompok hak asasi manusia Malaysia, Suaram, menuduh kesepakatan tersebut menghasilkan komisi senilai US$ 130 juta dolar (setara Rp 1,8 triliun), di mana dibayarkan kepada sebuah perusahaan yang terkait dengan Najib Razak.
Agustus lalu, jaksa Prancis mengatakan mereka menempatkan dua mantan eksekutif di Thales dan DCNS di bawah penyelidikan awal, sebagai bagian dari investigasi atas penjualan kapal selam pada 2002.
Seorang juru bicara Thales menolak berkomentar tentang hal tersebut.
Begitupun juru bicara untuk Naval Group, juga menolak berkomentar tetapi menambahkan: "Kami sangat menghormati semua undang-undang nasional dan internasional yang relevan".
Advertisement