Liputan6.com, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti janji Presiden Joko Widodo yang akan memberikan grasi kepada Baiq Nuril. ICJR menilai, Jokowi seharusnya memberikan amnesti dalam kasus tersebut, bukan grasi.
Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, menjelaskan grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, seumur hidup, atau pidana dengan kurungan paling rendah dua tahun. Hal itu sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No 5 Tahun 2010 tentang Grasi.
Advertisement
"Sedangkan Ibu Baiq Nuril hanya dijatuhi putusan pidana penjara selama enam bulan dan denda Rp 500 juta. Sehingga putusan kasus Ibu Nuril tidak dapat termasuk putusan yang dapat dimintakan grasi," ujar Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Anggara mengakui, memang selama ini amnesti kerap diberikan terhadap tahanan politik. Namun, dalam kerangka hukum dan regulasi di Indonesia, kata dia, tidak ada satu pun ketentuan yang mengatur pembatasan pemberian amnesti kepada kasus tertentu, termasuk UUD 1945 dan UU Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (UU Amnesti dan Abolisi).
Anggara mengungkapkan perbedaan grasi dan amnesti. Menurut dia, grasi harus diberikan melalui permohonan kepada presiden. Selain itu, grasi tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
"Artinya, pemohon grasi memahami bahwa ketika mengajukan grasi, dirinya mengaku bersalah dan kesalahan tidak serta-merta hilang. Sedangkan dalam UU Amnesti dan Abolisi, tidak ada ketentuan yang mengharuskan permohonan dari terpidana, lebih tepatnya inisiatif dapat datang dari presiden tanpa ada permohonan apa pun," ucap dia menjelaskan.
Dia menambahkan, amnesti yang diberikan presiden nantinya dapat menghapus semua akibat dari tindak pidana. Dengan demikian, Baiq Nuril tidak perlu lagi menjalani hukuman pidana maupun membayar denda dari perkara tersebut.
Amnesti Bukan Intervensi Hukum
Anggara juga menegaskan bahwa amnesti bukanlah bentuk intervensi hukum oleh presiden. Sama seperti grasi, amnesti pada dasarnya bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim.
Berdasarkan Pasal 1 UU Amnesti dan Abolisi, disebutkan bahwa presiden demi kepentingan negara dapat memberikan amnesti. "Sehingga, apabila presiden memberikan amnesti, hal ini semata-mata sebagai bentuk dari kepentingan negara untuk melindungi korban kekerasan seksual," tutur Anggara menandaskan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi berharap Mahkamah Agung (MA) bersikap adil dalam kasus mantan pegawai honorer di Sekolah Menengah Atas (SMA) 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril.
Jokowi mengatakan, Baiq Nuril bisa mengajukan berkas peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan kasasi yang memperberat hukumannya.
"Kita berharap MA memberikan keputusan yang seadil-adilnya," kata Jokowi di Pasar Induk Sidoharjo, Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11).
Dia mengaku, menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Dia pun tak bisa mengintervensi perkara yang menjerat Baiq tersebut. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun membuka ruang bagi Baiq untuk memberikan pengampunan, bila hasil putusan PK di MA tak memuaskan.
"Seandainya PK belum dapat keadilan, bisa ajukan grasi ke presiden. Kalau sudah grasi itu bagian saya," ucap Jokowi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement