Kubu Jokowi: Tolak Orang Gangguan Jiwa Punya Hak Pilih, UU Pemilu Harus Diubah

Arsul menjelaskan hak pilih diatur sebagai hak konstitusional warga negara dalam UU Pemilu. Namun, tak ada batasan yang jelas seperti diatur KPU.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Nov 2018, 01:07 WIB
Sekjen PPP, Arsul Sani. (Merdeka.com/Hari Ariyanti)

Liputan6.com, Jakarta - Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf menyarankan kubu Prabowo-Sandiaga mengubah Undang-Undang Pemilu jika menolak penderita gangguan jiwa masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Wakil Ketua TKN Arsul Sani menyebut dalam UU Pemilu yang sudah ada tidak ada larangan.

"Usulan dari Pak Prabowo itu baru benar secara konstitusi kalau itu dituangkan dalam undang-undang. Nah kalau itu mau seperti itu UU pemilunya ubah dulu," kata Arsul di Posko Cemara, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2018).

Arsul menjelaskan hak pilih diatur sebagai hak konstitusional warga negara dalam UU Pemilu. Namun, tak ada batasan yang jelas seperti diatur KPU.

"Hak memilih itu kan hak konstitusional, nah jadi kalau hak konstitusional itu kalau mau dibatasi harus tegas di dalam undang-undang," jelas Sekjen PPP itu.

Sementara itu, Sekretaris TKN Hasto Kristiyanto mengatakan tak perlu meributkan hal demikian. Dia menyaranak lebih baik tim kampanye menjelaskan program kesehatan masyarakat terhadap pengidap gangguan jiwa. Seperti sudah dilakukan oleh Presiden Joko.

Sekjen PDIP itu menyarankan kubu Prabowo tidak perlu sampai takut ada manipulasi DPT. Sementara pihaknya tegas ikut aturan KPU. "Kami lebih baik sesuai KPU. Kita kedepankan program untuk itu," ucapnya di Rumah Aspirasi, Jakarta Pusat, Rabu.

Sebelumnya, Direktur Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sufmi Dasco Ahmad memandang, orang yang mengalami gangguan jiwa bisa asal-asalan mencoblos dan tidak mengetahui siapa yang mereka pilih. Sedangkan, dalam UU Pemilu tak ada eksplisit larangan tersebut.

"Orang dengan gangguan kejiwaan atau orang gila tidak seharusnya diberikan hak pilih. Meskipun tidak diatur secara tegas dalam UU Pemilu, tetapi dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPerdata) secara jelas diatur jika orang gila tidak cakap untuk melakukan aktivitas hukum dan itu termasuk memilih dalam Pemilu," katanya.

 


Rusak Kualitas Pemilu

Menurut Dasco, menggunakan hak pilih adalah aktivitas pelaksanaan hak hukum yang amat penting karena menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin negara. Jika orang gila diberi hak pilih, kata dia, hasil Pemilu bisa diragukan kualitasnya.

Pada akhirnya, kata Dasco, bila orang gila memilih bisa terjadi pelanggaran azas Pemilu Jujur dan adil. Baginya, orang dengan gangguan kejiwaan atau orang gila tidak seharusnya diberikan hak pilih.

"Yang paling membahayakan, pemberian hak pilih kepada orang gila akan memberi peluang terjadinya manipulasi. Bisa saja orang gila tersebut diarahkan atau diwakili untuk memilih partai atau paslon tertentu karena mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan," tutur dia. 

Reporter Ahda Bayhaqi

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya