Liputan6.com, Kebumen - Akhir-akhir ini seekor buaya diduga jenis buaya muara (Crocodylus porosus) berukuran sekitar tiga meter kerap menampakkan diri di Sungai Luk Ulo, Dusun Wringin, Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen.
Buaya ini diyakini warga adalah buaya yang sama dengan buaya yang kerap kedapatan di aliran Sungai yang bermuara di Laut Kidul itu. Hanya saja, si buaya tampak lebih kurus dibanding terakhir kali terlihat tahun lalu.
Tahun lalu, si buaya kelihatan lebih gembul. Ada dugaan, ia kekurangan makanan saat kemarau melanda Kebumen. Saat air surut, sumber makanan pun menipis.
Kondisi buaya yang agak kurus itu membuat warga iba. Mereka jatuh kasihan.
Apalagi, tabiat buaya ini kalem dan tak pernah menunjukkan sifat agresif saat terlihat oleh warga. Meski masih khawatir, warga kerap memberi makanan berupa bangkai ayam maupun bebek.
Memang, mereka tak secara langsung melemparkannya untuk buaya. Namun, mereka membuang di sekitar buaya kerap menampakkan diri.
Baca Juga
Advertisement
"Harapannya ya dimakan sama buaya. Kasihan," kata Mulyadi, warga Rantewringin.
Kebiasaan warga yang kerap memberi makan buaya ini memicu kekhawatiran bahwa si buaya berubah jadi manja. Padahal, di alam liar, yang terjadi adalah hukum alam.
Kebiasaan menerima bantuan manusia dikhawatirkan bakal membuat buaya kehilangan insting berburunya. Sementara, dalam kompetisi di alam liar, siapa kuat dia dapat.
Pawang buaya asal Banyumas, Fatah Arif Suyanto, mengingatkan bahwa pemberian makanan secara rutin kepada buaya di alam liar memang bisa menyebabkan ketergantungan. Akan tetapi, jika sifatnya hanya temporer atau berkala, ia berpendapat tak akan menimbulkan masalah.
Akan tetapi, pemberian makanan ke buaya itu pun mesti mempertimbangkan status wilayah yang dihuni buaya. Tempat itu, apakah memang termasuk habitat buaya atau lebih ke hunian padat masyarakat.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sungai Luk Ulo Bukan Habitat Buaya
"Itu kan di sungai besar, sungai atau tanahnya milik umum atau liar, milik negara. Saya rasa tidak ada anjuran maupun larangan," ucap Fatah Arif, Rabu, 21 November 2018.
Pemberian makanan juga mesti mempertimbangkan, apakah benar dari sudut konservasi ekologi. Jika pemberi makan berniat untuk menyelamatkan buaya itu dari ancaman kelaparan, tentu benar.
Sebaliknya, satwa liar bisa saja diperdaya untuk masuk ke perangkap untuk dievakuasi atau bahkan dibunuh dalam kondisi darurat. Darurat itu misalnya, membahayakan keselamatan masyarakat.
"Kalau rutin tujuannya untuk menjebak mau ditangkap dengan aturan yang benar, ya bisa saja," ucap Fatah, yang juga penangkar buaya ini.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Suharman mengatakan belum bisa menyimpulkan muasal buaya di Sungai Luk Ulo. Untuk mengetahuinya, harus dipastikan terlebih dahulu jenis buayanya.
Jika jenis buaya itu adalah Senyulong atau Papua, misalnya, patut diduga buaya itu adalah peliharaan orang yang lepas atau sengaja dilepaskan. Akan tetapi, jika buaya itu adalah jenis muara, maka kemungkinan migrasi pun pantas dipertimbangkan.
Pasalnya, sejak zaman dahulu, Sungai Luk Ulo, sejauh yang diketahuinya, bukan habitat buaya.
"Sejak saya kecil saya tidak pernah dengar ada buaya," ucap Suharman yang memang berasal dari Kebumen dan mengenal betul Sungai Luk Ulo.
Soal warga yang memberi makan buaya di Sungai Luk Ulo, Suharman berpendapat sah-sah saja warga melakukannya. Sebab, buaya adalah hewan yang dilindungi.
Bahkan, pemberian makan itu adalah bukti bahwa di masyarakat sudah timbul rasa sayang atau kasihan kepada si buaya. Namun, ia pun meminta agar masyarakat waspada terhadap tabiat buaya yang tidak bisa ditebak.
Menurut dia, perlu dipertimbangkan apakah hewan itu merupakan endemis sebuah tempat atau bukan.
"Ya paling itu, yang punya anak kecil, diwaspadai jangan sampai bermain di sungai, karena buaya kan tidak membedakan mangsa," Suharman memperingatkan.
Advertisement