Metamorfosis Eko Ristanto Eks Polisi yang Teror Pos Lantas Lamongan

Eko diduga punya dendalm dengan Polri.

Oleh JawaPos.com diperbarui 22 Nov 2018, 10:27 WIB
Ilustrasi Tangkap Teroris 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Fakta seputar otak di balik penyerangan Pos Lalu Lintas Paciran Lamongan, Jawa Timur, mulai terkuak. Otak serangan itu adalah Eko Ristanto, eks polisi yang berubah menjadi teroris.

Dalam menjalankan aksi penyerangan, Eko melibatkan MSA, remaja 17 tahun. Ia dikeluarkan dari Polri karena terlibat penembakan guru ngaji di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2011.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo pemecatan itu menumbuhkan dendam di hati Eko. Pria yang terakhir berpangkat brigadir polisi satu (briptu) itu divonis 11 tahun penjara pada 2012.

Meski divonis 11 tahun, Eko hanya mendekam di penjara 8 tahun. Dia memperoleh beberapa kali remisi. Dia bisa keluar lebih awal setelah mendapat pembebasan bersyarat (PB). Eko akhirnya bebas pada Juli 2017.

Eko mendekam di Lapas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Di sanalah, kata Dedi, Eko berinteraksi dengan narapidana terorisme dan mulai belajar pandangan keagamaan ekstrim.

"Setelah keluar dari lapas, Eko ini malah makin terpapar dari media sosial dan beberapa buku. Kami juga sudah sita buku-buku di kediaman Eko," ungkap Dedi saat berkunjung ke kantor JawaPos, Rabu (21/11/2018).

Densus 88 Antiteror kini berusaha menguak kaitan Eko dengan jaringan teroris lain. Menurut Dedi, ada kemungkinan Eko tergabung dengan sel penyerangan lain.

Aksi penyerangan ke pos lantas Lamongan direncanakan 3-4 bulan sebelumnya. Hal tersebut terungkap setelah polisi mengetahui hubungan antara Eko, MSA, dan beberapa napiter di Lapas Madiun.

Sementara MSA, remaja yang diajak Eko melakukan penyerangan, diduga hanya simpatisan. Kapolres Lamongan AKBP Feby Dapot Perlindungan. Dia menyatakan, dua pelaku berkenalan karena rajin beribadah di musala dekat rumah. Lama-kelamaan, lantaran selalu berdiskusi soal akidah dan pemahaman ekstrim, mereka merencanakan amaliah.

"Mereka sengaja meneror agar polisi takut. Ini tujuannya. Menggoyang," ujarnya setelah menjenguk Bripka Andreas Dwi Anggoro, korban dalam serangan itu di RS Bhayangkara Surabaya.

Saat menggeledah rumah Eko dan MSA, polisi menemukan beberapa buku terkait napiter. Misalanya, buku berjudul Sekuntum Rosela Pelipur Lara karangan Imam Samudera, Senyuman Terakhir Sang Mujahid milik Amrozi, dan Aqidah Para Nabi dan Rasul bikinan Amman Abdurrahman.

Kasubbag Humas Kanwil Kemenkum HAM Jatim Ishadi Maja Prayitno mengungkapkan, Eko pernah ditempatkan di beberapa lapas. Pertama, Lapas Kelas I-A Surabaya, Porong.

Dia hanya 10 bulan di dalam penjara Porong. Lalu, dipindah ke Lapas Lowokwaru, Malang. Ishadi terkejut mendengar sepak terjang Eko setelah keluar dari penjara.

Ia mengakui, Eko sering berkomunikasi dengan beberapa napiter di Lapas Porong, Malang, dan Madiun.

"Salah satunya memang napiter bernama William Maksum. Dia narapidana teroris di Lapas Madiun," paparnya.

 


Jaringan

William merupakan napiter jaringan Abu Roban yang tewas dalam penyergapan di Lampung, Batang, Jawa Tengah, Rabu, 8 Mei 2013.Figur itulah yang disebut menjadi panglima di jaringan Abu Roban.

Dia menyuplai dana dan membuka akses persenjataan untuk kegiatan teroris jaringan Santoso di Poso. "Itu memang benar, William divonis 12 tahun penjara karena memiliki peran sebagai penghubung kepada kelompok Poso," tambah Ishadi.

Pada 2013, menurut Ishadi, William juga menempati blok napiter di Lowokwaru, Malang. Dia menduga, Eko mengenal William karena pernah tinggal di satu lapas.

William, menurut Ishadi, punya kelakuan buruk selama di Lapas Lowokwaru. Dia pernah membuat keributan pada 2015. Karena itu, William dipindahkan ke Lapas Madiun hingga sekarang.

Baca Artikel Jawapos lain di sini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya