Berbagai Pihak Dorong MPR RI Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

oleh Cahyu diperbarui 22 Nov 2018, 10:47 WIB
Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (foto: dok. MPR)

Liputan6.com, Jakarta Baiq Nuril, pegawai honorer di SMAN 7 Nusa Tenggara Barat, sedang ramai diperbincangkan di media massa. Ia tengah menghadapi tuntutan hukuman dari Makhamah Agung (MA) karena dianggap menyebarluaskan konten elektronik bermuatan asusila.

Dokumen elektronik itu berisi rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 kepada Baiq yang dianggap berisi muatan pornografi. Baiq menyimpan rekaman percakapan itu karena menganggap telah mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolah. Kemudian, rekaman percakapan itu disebarkan oleh temannya Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram.

Namun, sang kepala sekolah malah melaporkan Baiq kepada polisi. Sebenarnya, ia telah dianggap tak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram dan bebas dari status tahanan kota. Tak berselang lama, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding kasasi kepada MA hingga akhirnya Baiq divonis Mahkamah Agung (MA) hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Ia dianggap bersalah melanggar UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang bemuatan asusila.

Peduli dengan kasus Baiq tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat pun menghadirkannya dalam Diskusi Empat Pilar MPR di Media Center MPR/DPR, Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (21/11/2018). Dalam diskusi bertema 'Perlindungan Perempuan dan Ancaman Kekerasan Seksual' ini, Baiq menyatakan akan berjuang bersama perempuan-perempuan lain yang mengalami kekerasan seksual tapi tidak mampu bersuara.

 “Saya akan berjuang untuk wanita-wanita dan perempuan-perempuan di Indonesia agar tidak ada lagi kekerasan seksual terjadi para perempuan. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujarnya.

Selain Baiq, diskusi Empat Pilar MPR juga menghadirkan narasumber anggota Fraksi PDI Perjuangan MPR, Rieke Diah Pitaloka, Kuasa Hukum Baiq Nuril Joko Jumadi, Komisioner Komnas Perempuan Masruchah, Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo, dan Askari Razak.

Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sudah menyatakan bahwa Indonesia saat ini dalam keadaan darurat kekerasan seksual. Dalam kasus Baiq, Rieke menyebutkan penegak hukum seharusnya menggunakan prinsip kausalitas, sebab-akibat. Artinya, bukan hanya dilihat dari sisi akibat, tetapi juga harus melihat sebabnya.

“Seharusnya MA melihat apakah benar terjadi kekerasan seksual terhadap korban Baiq Nuril,” ucapnya.

Karena itu, Rieke mendukung Baiq Nuril untuk melaporkan adanya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan kepala sekolah SMAN 7 ke Polda NTB.

“Sehingga persoalan kekerasan seksual ini seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak. Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja,” kata anggota Komisi VIII DPR ini.

Rieke mengatakan, penting untuk segera disahkan revisi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sedang dibahas Komisi VIII DPR.

“Agar ada kepastian hukum,” ujarnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah, sependapat dengan Rieke. Menurutnya, saat ini banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di negeri ini. Karena itu, Komnas Perempuan dan gerakan masyarakat sipil telah mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak 2015.

“Kami meminta RUU itu menjadi RUU prioritas. Sejak April 2017, Komisi VIII sudah ditugaskan untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena faktanya kekerasan seksual di Indonesia sudah tidak bisa ditolerir lagi,” ucap Masruchah.

Dia menambahkan, data Komnas Perempuan tahun 2001 – 2011 menunjukkan bahwa setiap hari setidaknya terjadi kekerasan seksual terhadap 35 perempuan. Artinya, setiap dua jam terjadi kekerasan seksual terhadap tiga perempuan. Data ini ibarat gunung es karena banyak korban yang lebih memilih diam dan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting dibahas segera mungkin karena kasus pelecehan seksual meskipun tidak bersentuhan fisik dalam kasus Baiq Nuril, namun kekerasan verbal termasuk kekerasan seksual. Kalau sudah ada UU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka perlindungan terhadap korban dan pemenjaraan bagi pelaku memiliki pijakan hukum,” kata Masruchah.

 

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya