Liputan6.com, London - Harga minyak merosot pada hari Kamis (Jumat pagi WIB) setelah persediaan minyak AS melonjak ke level tertinggi sejak Desember, menambah kekhawatiran tentang melimpahnya stok minyak mentah global.
Dilansir dari Reuters, Jumat (23/11/2018), harga minyak jenis Brent yang jadi patokan global turun USD 96 sen menjadi USD 62,52 per barel. Sedangkan harga minyak AS, West Texas Intermediate turun lebih dari USD 1 menjadi USD 53,85 per barel.
Baca Juga
Advertisement
Perdagangan sangat tipis karena hari libur Thanksgiving pada hari Kamis di Amerika Serikat.
Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan minyak terbebas dari posisi terendahnya dipicu dolar AS yang lebih lemah, membuat minyak mentah yang dijual dalam denominasi dolar lebih murah untuk pemegang mata uang lainnya. "Dukungan tambahan mungkin berasal dari ekspor Iran yang lebih rendah," katanya.
Ekspor Iran telah turun beberapa ratus ribu barel per hari (bph) bulan ini, sebuah perusahaan pelacak tanker terkemuka mengatakan pada hari Kamis, menunjukkan sanksi AS yang berlaku mulai bulan ini telah membuat takut banyak pembeli.
Tapi harga tetap di bawah tekanan akibat meningkatnya persediaan minyak mentah AS, yang naik 4,9 juta barel menjadi 446,91 juta barel pekan lalu, tertinggi sejak Desember, Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mengatakan.
Produksi minyak mentah AS juga mencetak rekor 11,7 juta barel per hari (bpd), kata EIA.
Tamas Varga, analis pialang PVM memprediksi tren pasar tetap bearish. "Pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada bulan Desember, apakah mereka akan potong produksi? Jika ya, seberapa banyak?" Katanya.
OPEC khawatir akan munculnya banjir. Namun eksportir terbesar OPEC, Arab Saudi, berada di bawah tekanan AS untuk tidak mengambil tindakan apapun untuk memangkas produksi yang akan mendorong harga lebih tinggi lagi.
Untuk mengatasi lonjakan pasokan, OPEC sedang mempertimbangkan kesepakatan untuk memangkas produksi ketika bertemu pada 6 Desember, meskipun anggota OPEC Iran diperkirakan akan menolak pengurangan secara sukarela. Rusia, sekutu OPEC, juga tidak menunjukkan tanda akan bergabung dengan pemotongan produksi.