Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) sedang membahas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028. Dari pembahasan acuan kelistrikan tersebut tidak ada sinyal penggantian formula harga gas untuk sektor kelistrikan.
Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar mengatakan, penetapan harga gas untuk pembangkit listrik masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 tentang pemanfaatan gas bumi untuk pembangkit listrik, sehingga belum ada rencana perubahan formula baru.
"Sesuai Peraturan Menteri 45 tahun 2017," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Baca Juga
Advertisement
Arcandra menjelaskan, acuan harga gas untuk kelistrikan yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah, 8 persen dari harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) untuk harga gas yang dibeli dari mulut sumur (wellhead). Selain itu 14,5 persen ICP untuk pembelian gas di titik serah (plant gate).
"Peraturan menterinya tetap 8 persen di wellhead dan 14,5 persen (sampai plaant gate)," tutur Arcandra.
Arcandra menuturkan, acuan harga gas tidak dibahas dalam penyusunan RUPTL 2019-2028. Hal ini menjadi sinyal penetapan harga gas yang dipatok untuk sektor kelistrikan tidak akan diterapkan.
"Tetap dengan permen yang ada, tetap dengan harga yang ada di Peraturan Menteri," tutur dia.
Infrastruktur Jadi Kunci Pemanfaatan Gas Alam Cair di RI
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terus mendorong agar pelaku usaha domestik turut memanfaatkan produksi gas alam cair (liquified natural gas/LNG) dalam negeri.
Misi ini bisa tercapai jika kendala infrastruktur terkait pengiriman gas dari hulu ke hilir dapat teratasi. Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi, mengatakan pihaknya tertantang memanfaatkan produksi LNG Indonesia untuk dipakai secara domestik dibanding diekspor ke luar negeri.
"Mengapa kondisi itu terjadi? Waktu itu kita jadi eksportir terbesar LNG di dunia, tapi pemakaiannya di domestik tidak ada. Sekarang ada tapi masih minim," ungkap dia di Workshop Distribusi dan Pemanfaatan LNG Skala Kecil di City Plaza, Jakarta, Kamis 1 November 2018.
Dia menceritakan, sejak 1977 Indonesia sudah banyak mengekspor gas alam cair produksi Kilang Badak di Bontang, Kalimantan, ke Jepang. Namun, lanjutnya, pemakaian LNG di lingkup lokal masih sedikit sekali.
"Baru pada 2012 kargo pertama untuk domestik dikirim dari Bontang ke FSRU (Floating Storage & Regasification Unit) Jawa Barat. Artinya lama sekali kita baru bisa nikmati gas alam," imbuhnya.
Ia menuturkan, tren kenaikan kebutuhan gas bumi baru tumbuh pada periode 2000, terutama saat 2005 ketika harga minyak naik dan menjadi diatas 100 dolar per barel pada 2008.
"Seiring dengan itu, kebutuhan gas pipa jadi membesar. Bahkan 2013 pemanfaatan domestik lebih besar dari ekspor. Sekarang pemanfaatan domestik sekitar 60 persen," ujar dia.
Akan tetapi, ia menelusuri infrastruktur jadi kendala penyaluran LNG, khususnya dari Bontang menuju kawasan Indonesia bagian barat semisal Pulau Sumatera dan Jawa.
"Infrastruktur yang saya amati transportasi pakai kapal atau kontainer LNG, kok kayanya galangan kapal kita ga pernah buat kapal LNG. Berarti ada yang kita lupakan. 2015 kami diskusi dengan galangan kapal, dan sebenarnya teknologi mudah galangan kapal siap. Tapi yang saya heran sampai sekarang enggak ada yang bikin," tutur dia.
Oleh karena itu, ia coba mengajak pelaku usaha untuk berdiskusi bersama terkait pemanfaatan gas alam cair untuk sektor industri, sehingga bisa meningkatkan pemakaiannya di dalam negeri.
"Makanya saya mikir, coba kita diskusi. Kita lihat end to end supply chance, barangkali bisa saling nyambung antara konsumer, retailer, dan lain-lain. Jadi diharapkan kita bisa create bisnis bersama," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement