Liputan6.com, Jakarta: Proyek pembelian alat utama sistem pertahanan atau alutsista TNI dan Polri selama ini dianggap sebagai lahan korupsi. Akibatnya, pembelian alutsista terbengkalai, bahkan kualitas atau mutu tak sesuai yang diharapkan.
"Hal itu dikarenakan proses pembeliannya diduga sarat KKN dan kebanyakan menjadi korban uang komisi," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam keterangan pers, Ahad (15/1). Ia menganggap ada kebiasaan buruk di TNI dan Polri dalam pembelian alutsista yang tidak pernah lengkap.
Sehingga berakibat setelah dibeli dan saat dioperasikan, alutsista tak berfungsi baik. "Tidak tepat guna, bahkan tidak berguna sama sekali. Akhirnya ditelantarkan menjadi besi tua."
Karena itu, Neta menegaskan, dalam pengadaan alutsista, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) perlu mencermati, sejauh mana proyek itu sesuai dengan rencana strategis dan sejauh mana alutsista itu terukur. "Secara teknologi lebih tinggi atau minimal sama dengan negara tetangga, dan dalam pembelian alutsista ukurannya bukanlah kuantitas tapi kualitas," ujar Neta.
Menurut Neta, Indonesia tak perlu membeli alutsista dalam jumlah banyak. Yang terpenting sedikit tapi bermanfaat dan lebih mudah dalam penggunaan. Mengingat, Neta menambahkan, Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga penggunaan alutsista efektif dan efisien.
"Jumlah banyak buat apa kalau kemudian mangkrak dan menjadi besi tua, seperti kapal perang eks Jerman Timur dan 200 jeep eks RRC yang tidak diketahui nasibnya saat ini. Sebab itu kebijakan Komisi I DPR yang menolak pembelian 100 tank Leopard dari Belanda patut didukung semua pihak."(AIS)
"Hal itu dikarenakan proses pembeliannya diduga sarat KKN dan kebanyakan menjadi korban uang komisi," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam keterangan pers, Ahad (15/1). Ia menganggap ada kebiasaan buruk di TNI dan Polri dalam pembelian alutsista yang tidak pernah lengkap.
Sehingga berakibat setelah dibeli dan saat dioperasikan, alutsista tak berfungsi baik. "Tidak tepat guna, bahkan tidak berguna sama sekali. Akhirnya ditelantarkan menjadi besi tua."
Karena itu, Neta menegaskan, dalam pengadaan alutsista, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) perlu mencermati, sejauh mana proyek itu sesuai dengan rencana strategis dan sejauh mana alutsista itu terukur. "Secara teknologi lebih tinggi atau minimal sama dengan negara tetangga, dan dalam pembelian alutsista ukurannya bukanlah kuantitas tapi kualitas," ujar Neta.
Menurut Neta, Indonesia tak perlu membeli alutsista dalam jumlah banyak. Yang terpenting sedikit tapi bermanfaat dan lebih mudah dalam penggunaan. Mengingat, Neta menambahkan, Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga penggunaan alutsista efektif dan efisien.
"Jumlah banyak buat apa kalau kemudian mangkrak dan menjadi besi tua, seperti kapal perang eks Jerman Timur dan 200 jeep eks RRC yang tidak diketahui nasibnya saat ini. Sebab itu kebijakan Komisi I DPR yang menolak pembelian 100 tank Leopard dari Belanda patut didukung semua pihak."(AIS)