Liputan6.com, Karawang - Nasib tragis harus dialami lansia bernama Mak Erat (91) warga Dusun Telukbunder, Desa Dwi Sari, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang.
Bersama anak dan cucunya, Mak Erat masih menempati rumahnya yang berupa gubuk bambu berukuran tiga kali dua meter, beratapkan genting yang sebagian sudah ambruk, dan berlantaikan tanah.
Advertisement
Mak Erat bahkan harus tidur di dapur yang menyatu dengan seluruh isi rumah yang jauh dari kata 'layak huni'. Rumah tersebut adalah harta satu-satunya peninggalan suami tercinta.
Anak Mak Erat, Firmansyah mengatakan, genting rumah sempat ambruk empat tahun lalu, dan kondisi bagian belakang sudah roboh. Hujan dan panas sinar matahari tembus langsung ke dalam rumah karena atapnya yang bocor.
"Kondisi gubuk sudah roboh, sejak empat tahun lalu, jangankan untuk bangun rumah, untuk makan sehari-hari juga susah," kata Firmansyah kepada Liputan6.com, Jumat (23/11/2018).
Untuk kebutuhan hidupnya, Mak Erat mengandalkan hasil jerih payah cucunya yang bekerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu, bahkan terkadang pulang tanpa membawa uang.
"Kalau untuk makan, hasil kerja serabutan baru bisa beras untuk dimasak," katanya.
Dede Komara, tetangga Mak Erat mengatakan kondisi rumah Mak Erat sangat memprihatinkan, mereka memang dari kalangan kurang mampu, bahkan sudah menyampaikan kepada pemerintah desa, tetapi hingga kini belum ada tanggapan.
"Kondisi gubuk nenek Erat bersama anaknya cukup memprihatinkan dan sangat butuh bantuan dermawan, apalagi pemerintah, untuk membedah rumah nenek," ungkap Dede.
Nasib Abah Ajum
Bukan saja Mak Erat, kondisi hampir sama juga dialami Bah Ajum (60), lelaki renta ini terpaksa menghabiskan sisa hidupnya setelah istrinya meninggal di rumah tak layak ditinggali itu.
Warga Desa Dwi Sari, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang itu sehari-hari tinggal di rumah gubuk ukuran 1,5 x 2 meter terbuat dari bambu sebagai penyangga dan penutup dari kain dan terpal plastik.
Bah Ajum yang daya tahan tubuhnya kian memburuk, tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa menempati rumah gubuk miliknya itu, setelah rumah kayu sebelumnya ambruk sejak bulan Agustus lalu.
"Terpaksa tinggal di saung reyot sejak gubuk ambruk pada Agustus lalu," kata Bah Ajum.
Bagi Bah Ajum, tinggal di gubuk reyot bukan pilihan hidup. Kemiskinan yang memaksa dirinya tetap tinggal di rumah tersebut.
Bah Ajum juga menceritakan, anak paling tua yang bernama Narsum diasingkan tak jauh dari rumah karena mengalami gangguan jiwa selama 20 tahun. Sejak keluar SD kelas enam mengalami panas dan hingga kini mengalami gangguan jiwa.
"Mengalami gangguan jiwa sudah ada 20 tahun lebih," kata Bah Ajum.
Narsum mengalami gangguan jiwa sejak lama dan tak pernah mendapat pengobatan karena kemiskinan keluarga Bah Ajum. Kondisi tempat Narsum tinggal pun setali tiga uang dengan rumah abahnya.
Warga berharap Bah Ajum memperoleh bantuan karena kini tak punya apa-apa lagi. Bahkan, untuk menyambung hidupnya, ia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement