IHSG Melemah Terbatas dalam Sepekan

Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah terbatas pada pekan ini periode 16 hingga 23 November 2018.

oleh Agustina Melani diperbarui 24 Nov 2018, 10:00 WIB
Seorang pria melintas di depan papan monitor di Mandiri Sekuritas, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah terbatas pada pekan ini periode 16 hingga 23 November 2018.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (24/11/2018), IHSG melemah tipis 0,1 persen dari posisi 6.012 pada 16 November 2018 menjadi 6.006 pada 23 November 2018. Pelemahan IHSG itu didorong sektor tambang yang merosot tujuh persen.

Sementara itu, saham berkapitalisasi besar terutama masuk indeks LQ45 naik 0,07 persen dalam sepekan. Investor asing juga beli saham USD 6,4 juta atau sekitar Rp 93,03 miliar (asumsi kurs Rp 14.536 per dolar Amerika Serikat).

Di pasar surat utang atau obligasi naik 0,4 persen hingga perdagangan Kamis pekan ini. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun mencapai 8 persen, dan menjadi 7,9 persen pada akhir pekan ini. Investor juga lakukan aksi beli USD 295 juta atau sekitar Rp 4,28 triliun di obligasi untuk perdagangan Senin.

Sentimen eksternal dan internal membayangi laju IHSG pada pekan ini. Dari eksternal, perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China masih pengaruhi pasar keuangan global.

Pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan pembatasan ketat pada ekspor teknologi. Deutsche Bank menyebutkan langkah itu akan memiliki dampak merugikan yang mendalam dan panjang pada hubungan AS dan China.

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menyebutkan, kesepakatan perdagangan AS-China mungkin hanya berakhir pada tingkat "kerangka" daripada apa pun yang substantif.

Dari data ekonomi AS pun bervariasi. Data ekonomi menunjukkan data barang pesanan turun 4,4 persen, angka itu lebih buruk dari prediksi 2,6 persen. Sedangkan data positifnya yaitu data klaim pengangguran naik menjadi 224 ribu dari estimasi 215 ribu.

Di sisi lain, harga minyak lanjutkan pelemahan. Harga minyak menjadi salah satu pendorong aset komoditas. Harga minyak merosot ke level terendah sejak 2017 yang didorong persediaan minyak dan prospek ekonomi suram.

Dari internal, Kementerian Keuangan berencana mengurangi pajak properti. Rencananya PPh 22 untuk penjualan properti lebih dari Rp 5 miliar akan terpangkas menjadi satu persen dari lima persen. Selain itu, pemerintah juga meningkatkan nilai batas bawah atau threshold untuk pajak pertambahan nilai (PPnBM) 20 persen dari nilai properti Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar.

 


Lalu apa yang dicermati ke depan?

Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,33% atau 18,94 poin ke level 5.693,39, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lalu apa yang dicermati ke depan?

Salah satunya kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve.

Apakah the Federal Reserve akan mengubah kebijakan moneternya? Dalam pidato baru-baru ini, pimpinan the Federal Reserve Jerome Powell sedikit mengubah pandangannya terutama ketika ditanya tentang perlambatan pertumbuhan global.

Usai sikap hawkish atau agresif, Powell menyarankan apa yang terjadi di global sekarang patut mendapat perhatian. Hal ini kontras dengan pernyataan-pernyataan awal pada Oktober yang isyaratkan the Federal Reserve masih jauh dari netral.

Pasar terus mengharapkan the Federal Reserve untuk melanjutkan kenaikan pada Desember. Namun, pasar mengurangi harapan untuk kenaikan suku bunga pada 2019. Hal ini sejalan dengan tingkat netral untuk the Federal Reserve yang hanya paling banyak dua kali.

Pandangan Ashmore adalah the Federal Reserve harus mulai memperlambat kenaikan suku bunga yang diberikan seiring memuncaknya pertumbuhan ekonomi dan marjin laba.

Selain itu, laju inflasi melambat terutama jika harga energi tetap rendah. Oleh karena itu, Ashmore berharap jika data ekonomi mulai menunjukkan data lebih beragam kemungkinan kenaikan suku bunga melambat pada 2019.

Usai kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi enam persen, Indonesia menjadi salah satu di negara berkembang yang paling responsif. Meski mengejutkan, Ashmore melihat kenaikan suku bunga diperlukan untuk menstabilkan sistem keuangan terutama nilai tukar rupiah.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat cenderung menguat ke posisi 14.588-14.603 dari posisi 14.600-14.900. "Stabilnya rupiah mendorong aliran dana investor asing masuk ke saham sekitar USD 650 juta month to date dan obligasi sebesar USD 1,4 miliar," tulis Ashmore.

 


Gerak Obligasi Mampu Reli?

Pengunjung mengambil foto layar indeks harga saham gabungan yang menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Sebelumnya, Perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Lalu apakah obligasi masih mampu reli? Dengan pemerintah mengkonfirmasi membatalkan lelang obligasi pada akhir 2018, Ashmore mengharapkan suplai tetap stabil pada akhir tahun sehingga dorong harga obligasi.

Sejak kabar tersebut, harga obligasi acuan naik 0,27 persen. Harga obligasi akan naik hingga akhir 2018 dan 2019 seiring kenaikan suku bunga the Federal Reserve.

Selain itu, Ashmore melihat risiko kenaikan suku bunga the Federal Reserve menjadi terbatas dampaknya terhadap obligasi. Oleh karena itu, obligasi dapat reli. “Kami melihat momentum pertumbuhan positif di saham juga akan diikuti reli obligasi,” ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya