Liputan6.com, Pekanbaru - Arah jam mulai bergerak ke angka 00.00 WIB pada Sabtu malam, 24 November 2018. Alunan musik tradisional calempong mulai sayup pertanda akan disudahi. Satu persatu dari ratusan warga di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu undur diri untuk pulang ke rumah.
Warga di Kenegerian Malako Kociok, Riau, di pinggir Sungai Subayang itu harus mempersiapkan tenaga untuk esok hari. Mereka akan melaksanakan tradisi Sema Antau (rantau) dan Naghoyi (negeri) sebagai sebuah nazar ataupun janji karena bagian alam di hutan Rimbang Baling.
Baca Juga
Advertisement
Minggu, 25 November 2018, musik calempong yang dimainkan tiga ibu-ibu dan dua pemuda kembali mengalun. Mereka lalu berdiri membawa perkakas musik dari kuningan mengiringi langkah Raja Haji Tengku Muhammad Nizar, pemimpin tertinggi di Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan.
Berpakaian kerajaan serba kuning, raja bersama permaisuri dan tetua adat masuk ke sebuah rumah. Di sana, tinggal perempuan tua yang oleh ratusan warga di sana dikenal sebagai Dukun Harimau.
Berbalut kain panjang dari kepala hingga pinggangnya, dukun tadi membawa bungkusan dari daun pisang berisi jantung kerbau jantan yang sudah dibakar. Dia lalu berdiri di depan Raja keluar rumah lalu menaiki sebuah bukit tak jauh dari desa.
Bukit itu merupakan kawasan pekuburan. Di sana ada makam Datuok (datuk) Darah Putih yang semasa hidupnya dikenal sebagai tabib kampung serta penjaga warga dari berbagai penyakit.
Raja duduk bersila bersama tetua adat lalu membaca doa. Mereka berharap arwah datuk itu diberi kelapangan serta tempat terbaik di sisi Allah. Beberapa menit di sana, dukun harimau tadi berdiri diikuti Raja serta ratusan warga untuk naik lagi ke sisi bukit di sebelahnya.
Hukum Adat
Cukup melelahkan memang karena harus naik sekitar 70 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat. Di sana, dukun tadi langsung mencium pohon besar, sekaligus nisan kuburan milik Datuok Pagheu (pagar). Doa lalu dibacakan oleh malin atau orang yang memiliki pengetahuan tentang agama Islam.
Raja dan warga turun bukit usai doa dibacakan. Beberapa orang tinggal di sana, termasuk dukun harimau, lalu meletakkan jantung kerbau di atas kuburan. Seorang tetua adat lalu mengarah ke sisi hutan sambil berseru kepada harimau sumatera yang diyakini mendiami kawasan hutan di desa itu.
Tetua ini menyampaikan ada sebuah janji yang ditepati, harimau dipersilahkan mengambil jantung kerbau yang sudah disediakan. Seruan itu juga berisi agar harimau dan satwa lain penghuni hutan tidak menggangu anak kemenakan yang tiap harinya beraktivitas mencari rezeki.
"Jantung harimau sebagai semah negeri agar masyarakat aman selama berada di hutan, tidak diganggu, begitu juga sebaliknya masyarakat tidak akan merusak alam," terang Dody selaku tokoh pemuda di Kecamatan Kampar Kiri Hulu.
Apakah jantung itu memang dimakan harimau, tidak ada yang mengetahuinya sejak tradisi turun temurun berusia ratusan tahun ini digelar. Hanya saja jantung itu tidak ditemukan lagi beberapa hari kemudian.
Prosesi adat belum berhenti sampai di situ. Rombongan Raja, tetua adat, dan warga lalu menaiki piyau (perahu) yang sudah dirias. Perahu Raja dihias dengan dominasi warna kuning. Perahu tetua adat juga dihiasi untuk mengiring Raja di belakangnya.
Dalam adat di sana, tidak boleh ada yang mendahului perahu Raja. Ada sanksi adat ataupun denda yang dibayar, mulai dari lima hingga 11 emas kepada tetua untuk diserahkan ke bendahara kerajaan.
Perahu Raja bergerak ke hulu mengarungi Sungai Subayang. Sebuah sungai yang masih alami dan sejuk sehingga bebatuan di dasarnya tampak dari permukaan. Di bagian depan perahu Raja ada sebuah kepala kerbau diletakkan.
Teriknya matahari tak menyurutkan laju puluhan perahu warga mengikuti Raja. Ada sekitar 30 menit perjalanan menuju perbatasan Desa Tanjung Beringin dengan kenegarian yang bernama Muara Bio.
Perahu Raja menepi tepat di bawah bentangan tali di atas sungai, tanda perbatasan desa. Beberapa tetua adat mengambil kepala kerbau tadi. Dengan isyarat dari Raja, kepala kerbau tadi dibenamkan ke dasar sungai.
Seorang tetua adat lalu keluar dari perahu menuju sebuah batu dan menghadap ke hutan sembari berucap seolah itu seruan. Ada janji yang sudah ditunaikan begitu juga sumpah ada terucap. Ada sanksi adat bagi warga pelanggar, paling berat tentunya terkena sumpah tadi.
Advertisement
Filosofi di Balik Kepala Kerbau
Menurut Ajiz Manto selaku Datuok Pucuok Adat Kenegerian Malako Kociok, kepala kerbau tadi tepat dijatuhkan di perbatasan desa. Ini sebagai pengingat bagi warga serta anak kemenakan agar tahu tentang batas desa serta tanah ulayatnya.
"Sehingga tidak ada anak kemenakan yang mengambil hak orang lain, tidak saling mengambil tanah milik desa lain, menjaga hak masing-masing, ini batasnya. Kalau dilanggar akan terkena sumpah adat," tegas Ajiz.
Ajiz menyatakan, sumpah adat jika dilanggar akan berakibat fatal bagi pelanggar. Sebab, kepala kerbau yang dijatuhkan tadi merupakan sumpah setia antara desanya dengan desa lain di kenegerian berbeda.
"Dimakan kutuok seibu siang seibu malam, ka atee ndak bapucuok, ke bawah ndak bauwek, ibarat rumput di jalan, hidup sogan mati ndak omuo (dimakan kutukan seribu seribu seribu malam, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, ibarat rumput di jalan, hidup segan mati tidak mau)," jelas Ajiz menyiratkan sumpah yang bisa sampai tujuh turunan akan terkena penyakit.
Ajiz menjelaskan, tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun. Setiap tahun dilaksanakan sebagai pengingat kepada generasi penerus bahwasanya ada tradisi yang tidak boleh dihilangkan.
Sementara ketua koordinator I kegiatan ini, Paluzen, menyebut tradisi ini dipersiapkan selama tiga hari. Dananya merupakan swadaya masyarakat serta ada juga bantuan dari pihak swasta.
"Semua masyarakat terlibat mempersiapkan, mulai dari orang tua, pemuda dan anak-anak. Ke depannya diharapkan lebih besar lagi dengan melibatkan pemerhati budaya," katanya di pinggir Sungai Subayang.
Sebelumnya, Raja Haji Tengku Muhammad Nizar menjelaskan, tradisi ini sudah digelar desa ini dengan mengundang raja-raja pendahulunya. Digelar sesuai kesepakatan tetua adat bersama masyarakat setempat.
"Terkadang ada yang digelar sebelum Ramadan, ada juga sesudahnya, sesuai kesiapan masyarakat," sebut Nizar.
Nizar menyatakan tradisi ini merupakan wujud kecintaan masyarakat desa dengan hutan serta flora dan fauna yang ada. Antara masyarakat dan alam berjanji tidak saling mengganggu, begitu juga dengan masyarakat dari desa lainnya.
"Soal apa yang terjadi kalau tradisi ini tidak dilaksanakan, sampai sekarang belum diketahui karena setiap tahunnya dilaksanakan," sebut Nizar.
Kegiatan ini ditutup dengan makan siang bersama antara Raja dan masyarakatnya di pinggir sungai. Hidangan khususnya adalah daging kerbau yang sebelumnya disembelih warga sehari sebelumnya.
Rangkaian acara ini berlangsung dua hari. Sebelum acara penyerahan jantung dan kepala kerbau, masyarakat menyambut Raja dan mempersiapkan rumah persinggahan. Malam sebelum hari puncak, diadakan kunjungan Raja ke lima rumah siompu atau rumah tua yang ditinggali tetua adat.
Di desa ini, ada 155 kepala keluarga. Desa Tanjung Beringin berada di hulu Sungai Subayang dan satu-satunya desa yang berada di sebelah kanan dari 16 desa di pinggir sungai tersebut.
Simak video pilihan berikut ini: