Liputan6.com, Jakarta: Vihara Tridharma Bumi Raya berdiri kokoh di Jalan Sejahtera, yang di depannya terhubung dengan empat jalan lain, termasuk Jalan Setia Budi dan Jalan Budi Utomo, Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Sekitar 200 meter di belakangnya berdiri Masjid Raya Kota Singkawang di Jalan Masjid. Bila dipandang dari tengah simpang lima jalan-jalan itu, maka vihara dan masjid membentuk sebuah garis.
Situasi seperti itu lazimnya ditemukan di tempat rekreasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, sebagai potret kebhinekaan atau toleransi di antara umat beragama. Namun, bagi warga Kota Singkawang, garis lurus di pusat kota itu membuktikan bahwa potret paling indah di negeri ini: kebhinekaan.
Sebelum mengurai lebih jauh persoalan kebhinekaan di kota itu, ada baiknya mencermati kegiatan Perayaan Cap Go Meh yang baru saja berlalu. Bagi Kota Seribu Kuil itu, Perayaan Cap Go Meh identikan dengan kesemarakkan lampion-lampion berwarna merah, lampu-lampu hias, petasan, dan kembang api.
Kota itu memang mengadaptasi kemeriahan yang dilakukan warga Cina di negara lain, seperti Taiwan dengan Festival Lampion-nya. Di Kota Singkawang, momen itu dirayakan juga secara besar-besaran. Bahkan pada puncak perayaan, kota itu menghadirkan atraksi para tatung, tokoh yang menjadi medium arwah para ksatria Cina.
Seorang warga yakin, para tatung itu bertugas mengusir setan, sehingga warga di kota itu bisa hidup tenang tanpa ada gangguan makhluk jahat. Kalau di Jawa, kegiatan itu semacam tolak bala.
Pada perayaan Cap Go Meh kali ini, 765 tatung dari berbagai pelosok wilayah itu beraksi seperti pemain-pemain kesenian debus di Banten, seperti berdiri di atas pedang, menusuk-nusukkan jarum ke wajahnya, dan berbagai atraksi mendebarkan lain. Bedanya dibandingkan kesenian debus, pada Perayaan Cap Go Meh, aksi itu dilakukan secara massal.
Atraksi tatung itu awalnya dilakukan di Monterado, tempat pendulangan emas di Kabupaten Bengkayang. Saat itu, lima jendral asal Cina tiba di Kalimantan dan salah satunya, Jendral Ng Kang Sen. Ia menemukan banyak warga yang terkena penyakit, lantas ia mengobatinya dengan cara mengusir roh jahat itu.
Tanpa tatung, maka tak ada Perayaan Cap Go Meh. Pepatah ini berlaku bagi warga Kota Singkawang. Berkat kehadiran para tatung, Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang menjadi dikenal, serta menjadi pusat perhatian wisatawan dan media. Pemerhati budaya di kota itu menegaskan bahwa tatung merupakan simbol perlawanan terhadap roh jahat atau energi negatif dan harapan, untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Sosok tatung bukan orang sembarang. Sosok yang identik dengan kesaktian itu diyakini, dilahirkan karena takdir. Mereka itu memiliki tulang naga (liung kut), sehingga ia bisa dimasuki arwah-arwah para ksatria dan kebal terhadap senjata tajam.
Ketika perayaan-perayaan usai, ketika aksi-aksi mistis berakhir, dan ketika gemuruh tepuk-tangan habis, para tatung kembali ke kehidupan nyata. Mereka pun kembali menjemput profesi mereka sehari-hari sebagai sopir, montir, atau petani, juga kemiskinan. Mereka umumnya dari kalangan berpendidikan rendah.
Menjadi tatung, umumnya karena panggilan jiwa. Mereka bertutur, mereka bahagia bisa menjadi bagian dari kehidupan budaya di kota itu.
Sementara itu, warga di kota itu pun mengumandangkan sebuah harapan: kedamaian dan kemakmuran memayungi kehidupan seluruh warga. Seorang warga mengatakan, ia dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Setiap tahun, ia menyaksikan aksi para tatung. Dan ia juga selalu berharap, kota itu tetap damai, memberikan ketenangan, dan juga kemakmuran bagi seluruh warga.
Warga itu berasal dari etnis Melayu, dengan ayah berasal dari Ciamis, Jawa Barat, dan ibu berasal dari Sambas, Kalimantan Barat. Setiap warga di luar kelompok Cina keturunan atau suku Dayak, oleh warga setempat disebut orang Melayu. Ia bertahan di kota ini hingga memiliki keturunan, karena kota itu aman. Perbedaan suku dan agama bukan menjadi halangan bagi mereka untuk membaur secara rukun.
Pernyataan serupa dikemukakan warga dari suku Dayak atau Cina keturunan, sekitar 62 persen dari populasi di kota itu yang berjumlah sekitar 200 ribu jiwa. Perayaan Imlek atau Cap Go Meh selalu aman. Tidak ada keributan atau huru-hura. Meski belakangan ini terdengar isu-isu berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tapi kenyataannya aman.
Kebhinekaan itu sesungguhnya bukan hanya dalam kegiatan budaya, tapi juga dalam kegiatan usaha. Kota Singkawang yang ditopang kegiatan pertanian, kini makin menggeliat berkat kegiatan perdagangan yang dibangun warga Cina keturunan dari daerah lain atau warga dari etnis lain.
Warga Cina keturunan di Pontianak dikenal dengan leluhurnya yang pintar berdagang, karena itu keturunannya pun dikenal pintar berdagang pula. Berbeda dengan warga Cina keturunan di Singkawang yang memang dikenal sebagai petani. Ketika berbicara kegiatan berniaga, maka warga Cina keturunan asal Pontianak berada di bagian terdepan.
Setelah itu, warga bukan Cina keturunan dari berbagai daerah ikut juga memainkan perannya. Jalan Bawal atau Pasar Hongkong bisa menjadi cerminan kebhinekaan dalam rupa kegiatan perniagaan. Di tempat itu, para pedagang dengan berbagai latar belakang etnis berniaga seraya menjajakan makanan asal daerahnya, nasi padang, sate padang, nasi goreng, soto ayam, hingga makanan ala Cina. Semuanya dijajakan secara kaki lima, serta dengan pembeli dari seluruh kalangan.
Kota berpopulasi sekitar 200 ribu jiwa itu dimukimi oleh berbagai etnis, dan 62 persen di antaranya adalah warga Cina keturunan. Para leluhur mereka berasal dari Hakka (Khe). Mereka datang karena tergiur emas dan mencari peruntungan di negeri rantau. Akhirnya, Kota Singkawang menjadi pelabuhan terakhir mereka.
Sejak itu, mereka membaur dengan etnis lokal yang juga beragama berbeda dibandingkan agama leluhurnya. Bahkan, mereka juga melakukan kawin-mawin dengan warga asli. Proses akulturasi pun terjadi, persis seperti yang terjadi pada Cina Benteng di wilayah Tangerang, Banten, atau warga Cina keturunan di Semarang atau Medan.
Dan di antara akulturasi itu, mereka membangun kebersamaan yang disemangati penghargaaan kepada perbedaan. Kebhinekaan dan akulturasi menjadi dua kata kunci penting ketika mata diarahkan pada momen Perayaan Cap Go Meh atau malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek di Kota Singkawang.
Bila kebhinekaan bisa diartikan sebagai keberagaman, maka akulturasi adalah proses menyatunya kebudayaan masyarakat tertentu dengan kebudayaan masyarakat lain, tanpa menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan masing-masing masyarakat. Melalui Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, ada tiga catatan penting yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, peristiwa budaya itu memperlihatkan rupa kebhinekaan yang cukup kuat di kota itu. Kedua, kegiatan budaya itu menunjukkan upaya akulturasi tanpa henti warga Cina keturunan di kota itu. Dan ketiga, kebhinekaan dan proses akulturasi itu membuahkan kebersamaan dan kerukunan.
Pada akhirnya, dua kata kunci yang belakangan itu terasa mahal di negeri, yakni kebersamaan dan kerukunan, pun terus dijelmakan. Bukan hanya pada puncak Perayaan Cap Go Meh, tapi juga kehidupan sehari-hari.
Mereka sangat mengutuk aksi-aksi kekerasan antara aparat keamanan dan warga, konflik-konflik antarkelompok agama atau kelompok organisasi massa, atau berbagai bentrokan-bentrokan yang dipicu persoalan sepele. Karena itu, melalui Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, harapan akan terhindar dari bala semacam itu senantiasa dihembuskan.
Dan, Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang membuktikan, perbedaan agama, suku, ras, bahkan kepentingan, bisa disatukan dalam satu bingkai budaya. Kali ini terbukti, budaya menjadi perekat paling kuat untuk menyatukan segala perbedaan di tengah masyarakat.(SHA)
Situasi seperti itu lazimnya ditemukan di tempat rekreasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, sebagai potret kebhinekaan atau toleransi di antara umat beragama. Namun, bagi warga Kota Singkawang, garis lurus di pusat kota itu membuktikan bahwa potret paling indah di negeri ini: kebhinekaan.
Sebelum mengurai lebih jauh persoalan kebhinekaan di kota itu, ada baiknya mencermati kegiatan Perayaan Cap Go Meh yang baru saja berlalu. Bagi Kota Seribu Kuil itu, Perayaan Cap Go Meh identikan dengan kesemarakkan lampion-lampion berwarna merah, lampu-lampu hias, petasan, dan kembang api.
Kota itu memang mengadaptasi kemeriahan yang dilakukan warga Cina di negara lain, seperti Taiwan dengan Festival Lampion-nya. Di Kota Singkawang, momen itu dirayakan juga secara besar-besaran. Bahkan pada puncak perayaan, kota itu menghadirkan atraksi para tatung, tokoh yang menjadi medium arwah para ksatria Cina.
Seorang warga yakin, para tatung itu bertugas mengusir setan, sehingga warga di kota itu bisa hidup tenang tanpa ada gangguan makhluk jahat. Kalau di Jawa, kegiatan itu semacam tolak bala.
Pada perayaan Cap Go Meh kali ini, 765 tatung dari berbagai pelosok wilayah itu beraksi seperti pemain-pemain kesenian debus di Banten, seperti berdiri di atas pedang, menusuk-nusukkan jarum ke wajahnya, dan berbagai atraksi mendebarkan lain. Bedanya dibandingkan kesenian debus, pada Perayaan Cap Go Meh, aksi itu dilakukan secara massal.
Atraksi tatung itu awalnya dilakukan di Monterado, tempat pendulangan emas di Kabupaten Bengkayang. Saat itu, lima jendral asal Cina tiba di Kalimantan dan salah satunya, Jendral Ng Kang Sen. Ia menemukan banyak warga yang terkena penyakit, lantas ia mengobatinya dengan cara mengusir roh jahat itu.
Tanpa tatung, maka tak ada Perayaan Cap Go Meh. Pepatah ini berlaku bagi warga Kota Singkawang. Berkat kehadiran para tatung, Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang menjadi dikenal, serta menjadi pusat perhatian wisatawan dan media. Pemerhati budaya di kota itu menegaskan bahwa tatung merupakan simbol perlawanan terhadap roh jahat atau energi negatif dan harapan, untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Sosok tatung bukan orang sembarang. Sosok yang identik dengan kesaktian itu diyakini, dilahirkan karena takdir. Mereka itu memiliki tulang naga (liung kut), sehingga ia bisa dimasuki arwah-arwah para ksatria dan kebal terhadap senjata tajam.
Ketika perayaan-perayaan usai, ketika aksi-aksi mistis berakhir, dan ketika gemuruh tepuk-tangan habis, para tatung kembali ke kehidupan nyata. Mereka pun kembali menjemput profesi mereka sehari-hari sebagai sopir, montir, atau petani, juga kemiskinan. Mereka umumnya dari kalangan berpendidikan rendah.
Menjadi tatung, umumnya karena panggilan jiwa. Mereka bertutur, mereka bahagia bisa menjadi bagian dari kehidupan budaya di kota itu.
Sementara itu, warga di kota itu pun mengumandangkan sebuah harapan: kedamaian dan kemakmuran memayungi kehidupan seluruh warga. Seorang warga mengatakan, ia dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Setiap tahun, ia menyaksikan aksi para tatung. Dan ia juga selalu berharap, kota itu tetap damai, memberikan ketenangan, dan juga kemakmuran bagi seluruh warga.
Warga itu berasal dari etnis Melayu, dengan ayah berasal dari Ciamis, Jawa Barat, dan ibu berasal dari Sambas, Kalimantan Barat. Setiap warga di luar kelompok Cina keturunan atau suku Dayak, oleh warga setempat disebut orang Melayu. Ia bertahan di kota ini hingga memiliki keturunan, karena kota itu aman. Perbedaan suku dan agama bukan menjadi halangan bagi mereka untuk membaur secara rukun.
Pernyataan serupa dikemukakan warga dari suku Dayak atau Cina keturunan, sekitar 62 persen dari populasi di kota itu yang berjumlah sekitar 200 ribu jiwa. Perayaan Imlek atau Cap Go Meh selalu aman. Tidak ada keributan atau huru-hura. Meski belakangan ini terdengar isu-isu berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tapi kenyataannya aman.
Kebhinekaan itu sesungguhnya bukan hanya dalam kegiatan budaya, tapi juga dalam kegiatan usaha. Kota Singkawang yang ditopang kegiatan pertanian, kini makin menggeliat berkat kegiatan perdagangan yang dibangun warga Cina keturunan dari daerah lain atau warga dari etnis lain.
Warga Cina keturunan di Pontianak dikenal dengan leluhurnya yang pintar berdagang, karena itu keturunannya pun dikenal pintar berdagang pula. Berbeda dengan warga Cina keturunan di Singkawang yang memang dikenal sebagai petani. Ketika berbicara kegiatan berniaga, maka warga Cina keturunan asal Pontianak berada di bagian terdepan.
Setelah itu, warga bukan Cina keturunan dari berbagai daerah ikut juga memainkan perannya. Jalan Bawal atau Pasar Hongkong bisa menjadi cerminan kebhinekaan dalam rupa kegiatan perniagaan. Di tempat itu, para pedagang dengan berbagai latar belakang etnis berniaga seraya menjajakan makanan asal daerahnya, nasi padang, sate padang, nasi goreng, soto ayam, hingga makanan ala Cina. Semuanya dijajakan secara kaki lima, serta dengan pembeli dari seluruh kalangan.
Kota berpopulasi sekitar 200 ribu jiwa itu dimukimi oleh berbagai etnis, dan 62 persen di antaranya adalah warga Cina keturunan. Para leluhur mereka berasal dari Hakka (Khe). Mereka datang karena tergiur emas dan mencari peruntungan di negeri rantau. Akhirnya, Kota Singkawang menjadi pelabuhan terakhir mereka.
Sejak itu, mereka membaur dengan etnis lokal yang juga beragama berbeda dibandingkan agama leluhurnya. Bahkan, mereka juga melakukan kawin-mawin dengan warga asli. Proses akulturasi pun terjadi, persis seperti yang terjadi pada Cina Benteng di wilayah Tangerang, Banten, atau warga Cina keturunan di Semarang atau Medan.
Dan di antara akulturasi itu, mereka membangun kebersamaan yang disemangati penghargaaan kepada perbedaan. Kebhinekaan dan akulturasi menjadi dua kata kunci penting ketika mata diarahkan pada momen Perayaan Cap Go Meh atau malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek di Kota Singkawang.
Bila kebhinekaan bisa diartikan sebagai keberagaman, maka akulturasi adalah proses menyatunya kebudayaan masyarakat tertentu dengan kebudayaan masyarakat lain, tanpa menyebabkan hilangnya identitas kebudayaan masing-masing masyarakat. Melalui Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, ada tiga catatan penting yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, peristiwa budaya itu memperlihatkan rupa kebhinekaan yang cukup kuat di kota itu. Kedua, kegiatan budaya itu menunjukkan upaya akulturasi tanpa henti warga Cina keturunan di kota itu. Dan ketiga, kebhinekaan dan proses akulturasi itu membuahkan kebersamaan dan kerukunan.
Pada akhirnya, dua kata kunci yang belakangan itu terasa mahal di negeri, yakni kebersamaan dan kerukunan, pun terus dijelmakan. Bukan hanya pada puncak Perayaan Cap Go Meh, tapi juga kehidupan sehari-hari.
Mereka sangat mengutuk aksi-aksi kekerasan antara aparat keamanan dan warga, konflik-konflik antarkelompok agama atau kelompok organisasi massa, atau berbagai bentrokan-bentrokan yang dipicu persoalan sepele. Karena itu, melalui Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, harapan akan terhindar dari bala semacam itu senantiasa dihembuskan.
Dan, Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang membuktikan, perbedaan agama, suku, ras, bahkan kepentingan, bisa disatukan dalam satu bingkai budaya. Kali ini terbukti, budaya menjadi perekat paling kuat untuk menyatukan segala perbedaan di tengah masyarakat.(SHA)