Hikayat Sekarmayang, Kisah Petani Cilacap Sulap Rawa Habitat Buaya Jadi Lahan Produktif

Warga bakal mengajukan seluas 514 hektare lahan di Sekarmayang sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (Tora)

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 28 Nov 2018, 08:32 WIB
Laguna Segara Anakan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Liputan6.com, Cilacap - Pada era 1960-an, Desa Bulupayung Kecamatan Patimuan Kabupaten Cilacap masih berupa rawa. Sejauh mata memandang, bakung dan tumbuhan endemik hutan payau seperti bakau dan api-api mendominasi kawasan ini.

Maklum saja, wilayah ini sebenarnya adalah bagian dari Laguna Segara Anakan, yang memiliki luas 6.000 hektare lebih. Perlahan, sedimentasi Sungai Citanduy dan sejumlah sungai lain, seperti Cibeureum menyebabkan segara di tengah daratan ini mendangkal.

Salah satunya di daerah yang kini disebut sebagai Dusun Sekaramayang, sebuah dusun di ujung desa Bulupayung dan berimpitan langsung dengan kawasan laguna.

Banjir besar di kali Terusan yang juga bersumber dari Citanduy membuat kawasan Sekarmayang semakin dangkal. Maka, tanpa dikomando, semakin banyak warga yang menyulap rawa menjadi sawah. Puluhan tahun kemudian, mereka bakal mengajukan lahan ini dalam program reforma agraria.

Mereka bertaruh nyawa menggarap rawa yang masih Gung Liwang Liwung atau misterius ini. Petani, bisa saja tersedot ke dalam pasir isap yang konon banyak bertebaran di kawasan laguna segara anakan.

Hutan Bakau yang masih asri juga bukan tak mungkin masih dihuni oleh hewan-hewan buas berbahaya. Apalagi kalau bukan buaya muara yang dikenal ganas dan ular piton.

Risiko-risiko itu tak diindahkan. Petani tetap mengolah rawa tak bertuan menjadi lahan pertanian produktif.

Mereka membabat bakau, membuat penanda batas garapan dan menanaminya dengan padi. Pada era 1980-an, ratusan keluarga sudah bercocok tanam di sini. Tak aneh jika sekarang mereka mengajukan reforma agraria di lahan ini.

 


Mencari Status Kepemilikan

Pembangunan jalan secara swadaya di Sekarmayang, Bulupayung, Patimuan, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Petrus Sugeng untuk Muhamad Ridlo)

Salah satunya, Tamad. Sedari muda, ia telah menggarap lahan seluas 500 ubin atau setara dengan sekitar 7 ribu meter persegi di Sekarmayang. Dari lahan itu lah, ia menghidupi keluarga kecilnya hingga puluhan tahun.

"Saya mulai menggarap sejak 1985," ucap Tamad, Senin, 26 November 2018.

Sejak awal menggarap, ia mengaku tak pernah mendapat larangan atau gangguan dari pihak mana pun. Prinsip para penggarap pun sama, tanah yang mereka garap sebelumnya adalah Laguna Segara Anakan yang tak bertuan.

Akan tetapi, seiring kemajuan zaman, mereka sadar, tanpa bukti kepemilikan yang sah, bisa saja sewaktu-waktu mereka bakal kehilangan sawah yang dikelolanya sejak 30 atau bahkan 50 tahun yang lalu ini.

Karenanya, mereka pun berniat untuk mengajukan hak kepemilikan lahan kepada pemerintah. Sementara ini, warga bakal mengajukan seluas 514 hektare lahan di Sekarmayang sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (Tora). Tanah itu dimiliki atau digarap oleh 2 ribu lebih keluarga.

Untuk menunjukkan keseriusannya, mereka pun iuran membangun jalan guna memudahkan akses ke tengah sawah. Tak tanggung-tanggung, warga membangun sebanyak delapan ruas dengan total panjang 14 kilometer.

"Kita menghabiskan Rp 210 juta. Semuanya iuran," dia menerangkan.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap, Petrus Sugeng mengatakan, pembangunan secara swadaya itu dilakukan untuk membuktikan bahwa lahan pertanian tersebut kini telah menjadi persawahan produktif.

 


Sekarmayang, Tanah Tak Bertuan

Selama Puluhan Tahun warga membuka rawa menjadi lahan pertanian produktif. (Foto: Liputan6.com/Petrus Sugeng untuk Muhamad Ridlo)

Selanjutnya, masyarakat akan mengajukan lahan seluas 514 hektare itu sebagai calon Tora seperti diatur melalui Perpres 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Menurut Sugeng, pengajuan sertifikasi tanah melalui program reforma agraria itu adalah bagian dari perlindungan terhadap hak milik masyarakat. Hal itu juga diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960.

Dalam undang-undang ini, masyarakat bisa mengajukan reforma agraria atau pengajuan kepemilikan setelah mengelola lahan setidaknya selama 22 tahun. Adapun warga di Sekarmayang sudah mulai menggarap lahan ini sejak sekitar 50 tahun lampau. Dengan demikian masyarakat bisa mengajukan permohonan kepemilikan.

"Nah, itu salah satu, di samping bahwa membutuhkan objek yang kita minta merupakan lahan atau persawahan atau pertanian produktif, yang kita siapkan sebagai TORA, atau tanah objek reforma agraria," kata Petrus Sugeng.

Sugeng mengemukakan, tanah yang digarap oleh warga adalah tanah tak bertuan. Status tanah ini, bukan berada dalam pengelolaan pemerintah kolonial Belanda maupun dalam penguasaan negara.

Sebabnya, saat masyarakat membuka kawasan ini sekitar 50 tahun lalu, tanah ini masih berupa rawa belukar. Kawasan ini pada dahulu kala sebenarnya adalah tanah timbul.

"Bukan dikuasai atau dimiliki siapa-siapa. Asli masyarakat yang membuka dan menggarap," dia menerangkan.

Ia pun mendukung langkah yang dilakukan warga. Bagi Sugeng, legalitas akan menjamin hak kepemilikan lahan bagi para penggarap yang telah bersusah payah membuka lahan ini menjadi tanah produktif.

"Cilacap bisa jadi lumbung pangan nasional jika bisa melakukan hal yang sama di kawasan lain," dia menambahkan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya