Liputan6.com, Xinjiang - Fotografer Lu Guang selama ini dikenal dengan karya-karyanya yang menampillkan kehidupan warga China yang terpinggirkan semisal pekerja tambang, pecandu narkoba, ataupun pengidap HIV.
Namun sekarang fotografer yang banyak mendapatkan penghargaan tersebut tengah menjadi pusat perhatian. Menurut istrinya Xu Xiaoli, sang suami, Lu Guang telah dibawa oleh petugas keamanan China tiga minggu lalu dengan alasan yang tidak jelas.
Xu mengatakan suaminya, Lu sedang mengunjungi Xinjiang tanggal 3 November lalu ketika dia kehilangan kontak setelahnya.
Baca Juga
Advertisement
Lu Guang sudah mengadakan kontak dengan para fotografer di ibu kota Xinjiang Urumqi, seminggu sebelumnya, dan dijadwalkan untuk bertemu dengan seorang teman di provinsi Sichuan, tanggal 5 November namun tidak muncul.
Pihak berwenang di Zhejiang mengatakan kepada seorang teman Xu bahwa suaminya dan seorang fotografer lain telah dibawa oleh petugas keamanan Xinjiang.
"Saya tahu bahwa dia tidak akan melakukan hal yang ilegal." kata Xu (45 tahun) dalam wawancara lewat telepon dari New York, di mana dia sedang belajar seni desain dan membesarkan anak mereka.
Juru bicara Departemen Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan kepada wartawan hari Rabu bahwa dia tidak mengetahui situasi berkenaan dengan Lu Guang.
Lu memenangkan juara pertama dalam kontes World Press Photo yang bergengsi untuk serangkaian foto mengenai warga pedesaaan yang miskin di China yang terinfeksi HIV setelah menjual darah untuk menghidupi mereka.
Foto-fotonya mengambil tema yang biasanya dihindari oleh media China karena takut memberitakan masalah-masalah sosial yang tidak disukai oleh pemerintah.
Menurut Xu Xiaoli, ini adalah kunjungan suaminya yang pertama ke Xinjiang.
Penjagaan keamanan ketat sudah diberlakukan di Xinjiang daerah di mana penduduk suku Uighur dan Kazakh mayoritas beragama Islam.
Belakangan ini muncul laporan bahwa hampir satu juta warga Uighur di sana telah ditahan di kamp 'pendidikan' yang didirikan aparat China.
Simak video pilihan berikut:
China Legalkan Kamp Pendidikan Ulang untuk Muslim Uighur
Sebelumnya, pemerintah Provinsi Xinjiang di wilayah barat China menetapkan "pusat pelatihan kejuruan" bagi muslim Uighur sebagai aturan hukum, di tengah-tengah kecaman dunia internasional atas tudingan "penghapusan etnis non-Han" di sana.
Namun, pemerintah provinsi Xinjiang mengataka bahwa kebijakan itu bertujuan untuk menangani "risiko transfer pemahaman" ekstremisme.
Dampak aturan hukum itu, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia, menjadikan para tahanan wajib bersumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, dan memaksa mereka berhenti mengkritik, atau ancaman dilucuti keyakinannya.
Pada bulan Agustus, sebagaimana dikutip dari BBC pada Kamis (11/10/2018), China membantah tuduhan bahwa pihaknya telah menahan hampir satu juta orang muslim Uighur.
Namun, para pejabat yang menghadiri pertemuan hak asasi manusia PBB mengklaim bahwa masyarakat Uighur "ditipu oleh ekstremisme agama", dan oleh karenanya, mereka kini sedang menjalani pendidikan pemulihan.
Sementara itu, provinsi Xinjiang telah mengalami siklus kekerasan dan penindasan selama bertahun-tahun. China menuduh militan Islam dan separatis mendalangi masalah itu.
Perundang-undangan baru terkait adalah indikasi rinci pertama tentang apa yang dilakukan China di wilayah Xinjiang.
Aturan hukum tersebut memuat contoh-contoh perilaku yang mengarah pada penahanan, yakni seperti memperluas konsep halal di luar pemasaran produk pangan, menolak menonton siaran televisi dan radio negara, serta menghalangi anak-anak menerima pendidikan dari pemerintah pusat.
China mengatakan jaringan pusat penahanannya juga akan mengajarkan bahasa Mandarin, konsep hukum, dan pelatihan kejuruan.
Siapa Sebenarnya Muslim Uighur?
Masyarakat Uighur adalah penganut agama Islam terbesar di China, yang menurut sejarah, mewarisi gen dari penggembala Turki di Jalur Sutra lama. Mereka sebagian besar bermukim di provinsi Xinjiang, menempati sekitar 45 persen dari total populasi di sana.
Muslim Uighur melihat diri mereka secara budaya dan etnis dekat dengan negara-negara Asia Tengah, dan bahasa mereka mirip dengan Turki.
Dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah besar China Han (etnis China) telah bermigrasi ke Xinjiang, dan orang Uighur merasa budaya dan mata pencaharian mereka terancam.
Xinjiang secara resmi ditetapkan sebagai daerah otonom di China, seperti Tibet di selatannya.
Advertisement