Liputan6.com, Jakarta Pengusaha khawatir larangan memajang produk tembakau atau rokok di toko-toko ritel modern yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bisa menciptakan ketidakpastian usaha.
Peraturan daerah ini juga dinilai bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Larangan ini sudah berlaku di Kota Bogor dan Depok, Jawa Barat. Di Bogor, aturan tersebut sudah berlaku sejak akhir 2017. Sementara di Depok, larangan pemajangan produk rokok di toko ritel berlaku mulai Oktober 2018.
Baca Juga
Advertisement
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) M Moefti mengatakan, sesuai PP 109/2012, rokok adalah produk legal yang dapat dijual, dipromosikan, dan diiklankan, termasuk di tempat-tempat penjualan.
"Peraturan nasional dan peraturan daerah yang saling bertentangan ini telah menimbulkan ketidakpastian usaha," kata Moefti, Kamis (29/11/2018).
Dia mengaku, sebagai pemangku kepentingan di industri hasil tembakau, Gaprindo merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan perda tersebut. Pihaknya juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai peraturan tersebut.
Ketidakharmonisan antara peraturan nasional dan peraturan daerah juga membuat resah para pedagang di Kota Bogor dan Kota Depok. Apalagi dalam mengimplementasikan Perda KTR di lapangan, Satpol PP langsung menutup pajangan rokok.
"Mereka tidak pernah mendapat sosialisasi maupun peringatan terlebih dahulu. Kami merasa tidak ada perlindungan berusaha," kata Muhaimin.
Terkait Perda KTR ini, Gaprindo sudah menyampaikan keluhannya kepada Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Moefti, dua kementerian tersebut akan memastikan perda tidak kebablasan. Selain itu, proses pembuatan kebijakan juga harus melibatkan pemangku kepentingan. Tanpa keterlibatan seluruh pemangku kepentingan/konsultasi publik, peraturan dinilai cacat hukum.
Harmonisasi peraturan terkait penjualan produk rokok ini sangat diperlukan agar tidak menghambat laju investasi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga telah meminta pemerintah daerah untuk tidak lagi menerbitkan aturan yang bisa menghambat investasi. Berdasarkan keluhan para investor, regulasi yang berbelit-belit masih menjadi penyebab utama investor malas berinvestasi di Indonesia.
Menperin Ungkap Alasan Industri Rokok Keluar dari DNI
Pemerintah memutuskan untuk merelaksasi industri rokok dari Daftar Negatif Investasi (DNI), yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi ke-XVI dalam upaya untuk membantu tumbuhnya sektor industri kecil menengah atau IKM pengolahan tembakau.
“Terkait industri rokok, jumlah industrinya terus turun. Salah satu alasannya adalah sektor IKM-nya tidak tumbuh, karena dia harus bermitra dengan yang besar,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis, Jumat (23/11/2018).
Oleh karena itu, untuk mendorong industri rokok berskala kecil dan menengah dapat tumbuh dan berkembang, pemerintah mengeluarkan industri rokok dari DNI dan tidak lagi mewajibkan bermitra dengan industri besar.
Baca Juga
Dalam DNI yang telah direvisi, industri rokok kretek, rokok putih, dan rokok lainnya masuk dalam kategori sektor yang terbuka untuk penanaman modal dalam negeri maupun asing.
“Artinya, tak hanya investor asing yang bisa masuk ke industri ini, tetapi juga bisa oleh investor dalam negeri,” jelasnya.
Airlangga pun menilai, selama ini industri rokok skala kecil dan menengah sebenarnya sudah mampu menghasilkan produksi yang relatif baik. Misalnya dalam klasifikasi, industri rokok dikatakan kecil jika produksinya sekitar 300-500 juta batang rokok.
“Tetapi kalau 500 juta batang bagi industri rokok, skalanya tidak kecil juga. Kalau 500 juta batang itu satu batangnya Rp 1.000, dia sudah dapat Rp 500 miliar. Jadi kalau harus bermitra lagi dengan industri yang sudah di atas 50 miliar batang, itu kan menghambat industri kecilnya tidak bisa tumbuh,"ujarnya.
Advertisement