Uni Eropa Perkuat Dialog Keamanan dengan 3 Negara Asia, Termasuk RI

Duta besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Guerrard, menjelaskan hal tersebut.

oleh Afra Augesti diperbarui 30 Nov 2018, 16:32 WIB
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guérend memberikan sambutan pada acara penerima beasiswa Erasmus+ untuk 240 mahasiswa dan dosen Indonesia di Jakarta, Sabtu (14/7). Penerima beasiswa akan menempuh studi di perguruan tinggi.(Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Duta besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Guerrard, menuturkan bahwa Uni Eropa bermaksud memperkuat dialognya dengan 3 negara di Asia, yakni Jepang, Korea Selatan dan Indonesia, terkait keamanan dan pertahanan.

Untuk Indonesia sendiri, Vincent menyampaikan bahwa hal yang membuat Uni Eropa mau menjalin kerja sama dengan Indonesia lantaran Indonesia dan Uni Eropa memiliki tantangan dan ancaman keamanan yang sama.

"Karena itulah, Uni Eropa ingin mempromosikan tata pemerintahan yang baik berdasarkan aturan yang berlaku di laut, kebebasan navigasi, dan penghormatan terhadap hukum dan mekanisme internasional untuk menyelesaikan perselisihan dalam bentuk apa pun," katanya saat menyampaikan sambutan dalam dialog umum 'Advancing EU-Indonesia Security and Defence Partnership' di Jakarta, Jumat (30/11/2018).

Ia melanjutkan bahwa ada nilai-nilai penting yang hendak dibagikan oleh Uni Eropa untuk Indonesia, seperti menghormati hukum internasional, dukungan multilateralisme, keinginan untuk berkompromi, pengalaman dalam meresolusi konflik.

Menurutnya, Uni Eropa punya sejumlah pengalaman menarik yang bisa diadaptasi oleh Indonesia. Contohnya saja, Uni Eropa sempat membantu jadi penengah dalam melaksanakan kesepakatan damai di Aceh dan Mindanao.

Atau, menyediakan banyak dana untuk rekonstruksi dan pengembangan pasukan polisi di Afghanistan dan Myanmar. Selain itu, Uni Eropa juga mendukung sanksi yang dijatuhkan PBB terhadap program nuklir Korea Utara.

"Kami membawa lebih banyak aset dan aset ini terus bertambah, seperti pasukan tempur Uni Eropa, struktur kerja sama permanen Uni Eropa (PESCO), inisiatif intervensi Eropa, aset perlindungan Sipil Uni Eropa, dan FRONTEX," ujar Vincent.

Kendati demikian, Vincent menjabarkan bahwa Indonesia dan Uni Eropa masih harus berdiskusi lebih jauh, seperti meninjau kemajuan kerja sama dalam lingkup masalah keamanan, pemeliharaan perdamaian hingga manajemen bencana, atau kejahatan terorganisasi dan proliferasi nuklir.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Uni Eropa terhadap Asia

Dialog berjudul "Advancing EU-Indonesia Security and Defence Partnership" digelar di Jakarta, pada Jumat, 30 November 2018. Seminar ini membahas tentang kerja sama keamanan dan pertahanan antara Indonesia dan Uni Eropa. (Liputan6.com/Afra Augesti)

Vincent menjelaskan, 90% perdagangan internasional dilakukan melalui sektor maritim dan dua pertiga dari perdagangan maritim dunia melewati Asia. Sedangkan 42% dari nilai perdagangan yang dijalankan via laut, dikelola oleh pemilik kapal Uni Eropa.

"Tiga dari lima jalur pengiriman kontainer terbesar berasal Eropa: Maersk, MSC, dan CMA-CMG. Uni Eropa adalah aktor utama perdagangan dunia, juga penyedia dan penerima utama dari FDI. Selain itu, Uni Eropa adalah penyedia FDI pertama di ASEAN," tegas dubes Vincent.

Sementara itu, China adalah mitra dagang kedua Uni Eropa (setelah Amerika Serikat). ASEAN berada di posisi ketiga. Kemakmuran Uni Eropa diklaim sangat bergantung pada Asia, sebab kesejahteraan dan keamanan di benua ini juga mempengaruhi Uni Eropa.

"Hal ini tercermin dengan baik dalam strategi Global dan pertemuan Menteri Luar Negeri Uni Eropa pada Mei 2018. Mereka berkomitmen kepada Uni Eropa untuk meningkatkan keterlibatan keamanannya 'di' dan 'dengan' Asia," pungkas Vincent.

Di satu sisi, kritik tidak biasa disampaikan oleh Menlu Jerman, Heiko Maas, terhadap kebijakan Amerika Serikat (AS) tentang eksistensi NATO. Dia menegaskan agar negara-negara anggota Uni Eropa tidak lagi bergantung kepada Washington, dan menganjurkan untuk meningkatkan secara mandiri anggaran pertahanannya.

"Alih-alih menunggu pemerintahan Trump berakhir, Eropa harus mengambil bagian tanggung jawab yang sama secara global," kata Maas.

Dikutip dari Time.com, Kamis 23 Agustus 2018, Maas menambahkan bahwa Eropa sebaiknya segera meningkatkan anggaran belanja militer sebagai tandingan terhadap manuver kebijakan AS, yang tidak dapat diprediksi dan tidak bisa sepenuhnya diandalkan.

Peningkatan pembelanjaan pertahanan, kata Maas, akan mengamankan posisi Eropa, dan Jerman secara khusus, sebagai kekuatan global.

"Di mana AS melintasi batas, kita orang Eropa harus membentuk penyeimbang, sesulit apa pun itu," kata dia dalam sebuah tajuk opini berjudul "A New World Order", yang dimuat oleh surat kabar Jerman Handelsblatt.

Dalam tulisan itu, Maas juga menekankan pentingnya upaya menarik AS kembali ke meja perundingan tentang nuklir Iran.

Pada 6 Agustus lalu, AS memberlakukan sanksi baru terhadap Iran pasca-penarikan sepihak Trump dari kesepakatan nuklir. Maas menilai hal itu akan mengancam kegiatan bisnis Eropa, terutama yang berhubungan dengan Negeri Persia dan kawasan Timur Tengah.

"Kami tidak akan mengizinkan (Washington) memerintah, apalagi campur tangan dalam menentukan kebijakan," tulis Maas.

Pendapat Mass sejalan dengan apa yang sempat dilontarkan Kanselir Jerman Angela Merkel pada Mei 2017, yakni keluhan karena sekutu tradisionalnya--Amerika Serikat--sudah tidak bisa diandalkan.

"Waktu di mana (Jerman) dapat sepenuhnya bergantung pada orang lain, sebagian kini sudah berakhir," kata Merkel.

"Kami, orang Eropa, benar-benar harus mengambil jalan untuk menentukan nasib sendiri di masa depan."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya