Liputan6.com, Islamabad - Mata uang Pakistan merosot tajam, sementara negara itu terjerumus di dalam krisis finansial dan meminta paket dana talangan delapan miliar dolar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Dikutip dari laman VOA Indonnesia, Minggu (2/12/2018) nilai mata uang Pakistan merosot menjadi 142 rupee per dolar, dari 133,90 rupee per dolar pada penutupan sehari sebelumnya.
Baca Juga
Advertisement
Analis Mohammad Suhail mengatakan, hal itu merupakan indikasi jelas pemerintah tidak punya pilihan selain menerima persyaratan IMF.
IMF memberikan syarat mengenai dana talangan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan ekonomi yang besar seperti tingginya defisit neraca berjalan dan neraca fiskal.
Serta rendahnya tingkat pertumbuhan dan cadangan valuta asing. Ia mengatakan nilai rupee telah merosot 15 persen sejak pemilihan legislatif pada Juli lalu dan merosot 36 persen sejak tahun lalu.
IMF dan Pakistan mengadakan perundingan selama sepekan di Islamabad awal bulan ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Mata Uang Turki Merosot
Sebelumnya, mata uang Turki yakni Lira juga merosot tajam. Namun, hal ini dipengaruhi oleh perang dangan serta kondisi perekonomian dunia yang tidak stabil.
Mata uang Turki, Lira, mengalami kemerosotan paling besar dalam satu dasawarsa setelah presiden Donald Trump mengumumkan Amerika Serikat akan menaikkan tarif atas impor baja dan aluminium dari negara itu.
Trump mengumumkan hal itu dalam sebuah cuitan hari Jumat (10/8). "Hubungan kami dengan Turki tidak baik saat ini!," kata Trump, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia.
Hubungan kedua negara tegang sejak lama, karena Amerika Serikatt mendesak Turki untuk membebaskan pendeta Andrew Brunson, yang dikenai tahanan rumah dan menghadapi tuduhan melakukan kegiatan teroris di Turki.
Gedung Putih menepiskan tuduhan-tuduhan itu sebagai hal yang tidak berdasar dan menuduh Turki menjadikan Brunson sebagai sandera. Turki berencana mengadili pendeta asal AS itu.
Masalah pendeta Brunson itu mengakibatkan ambruknya nilai mata uang Turki karena para investor takut Amerika Serikat akan menjalankan sanksi-sanksi ekonomi.
Advertisement