Uni Eropa Dukung RI Capai Target Minyak Kelapa Sawit Berstandar Global

Uni Eropa berkomitmen dukung upaya Indonesia capai target minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan berstandar dunia pada 2020.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 05 Des 2018, 15:30 WIB
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Uni Eropa berkomitmen untuk mendukung upaya Indonesia mencapai target minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dan berstandar dunia pada 2020. Salah satu kuncinya, kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend, adalah dengan membawa standarisasi kualitas sawit RI ke level global.

"Sekarang kuncinya adalah membawa standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ke level global, sehingga (sawit Indonesia) akan dipertimbangkan oleh calon konsumen baru," kata Guerrend kepada sejumlah jurnalis di Jakarta, Rabu (4/12/2018).

Konsumen Eropa, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap industri yang berdampak besar terhadap kelestarian lingkungan dan pemanasan global, perlu meyakini bahwa sertifikat ISPO cukup kredibel untuk mencegah deforestasi dan degradasi keanekaragaman hayati, lanjut Guerrend.

Prinsip-prinsip keberlanjutan menjadi penting bagi konsumen Eropa yang merupakan importir terbesar kedua minyak sawit Indonesia setelah India.

Belanda adalah negara Eropa terbesar pengimpor kelapa sawit dari negara pemasok utama seperti salah satunya Indonesia. Di belakang Negeri Tulip, ada Spanyol, Jerman, Italia dan Belgia sebagai pengimpor CPO (crude palm oil) terbesar.

Guerend menegaskan bahwa konsumsi atas minyak sawit akan tetap tinggi karena komoditas tersebut adalah elemen kunci dari banyak produk makanan dan kosmetik.

Tetapi, secara objektif, masyarakat Eropa akan memilih minyak kelapa sawit yang diproduksi secara bertanggungjawab.

"Indonesia berkomitmen meningkatkan standar keberlanjutan dalam industri minyak sawit. Kami percaya pasokan akan memenuhi permintaan, begitu pula sebaliknya, permintaan dapat dicocokkan dengan pasokan," tambah Guerend, seperti dikutip dari Antara.

Sejumlah kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia, seperti moratorium izin perkebunan sawit, tinjauan atas sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), replantasi kelapa sawit, intensifikasi lahan perkebunan, dan program pengembangan kapasitas petani kecil mandiri, dianggap telah menuju arah yang tepat.

Menegakan standar yang jelas mengenai industri kelapa sawit berkelanjutan akan melindungi masyarakat lokal, ekosistem, dan cadangan karbon sejalan dengan Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan hingga 70-90 persen di bawah tingkat proyeksi business as usual hingga 2030.

 

Simak video pilihan berikut:

 


Dubes Uni Eropa: Tak Ada Diskriminasi pada Sawit Indonesia

Head of Delegation Ambassador of the European Union (EU) to Indonesia and to Brunei Darussalam, H.E. Vincent Guerend. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, pada waktu dan kesempatan terpisah, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend menegaskan organisasinya tidak berniat untuk mendiskriminasi, maupun melarang ekspor komoditas kelapa sawit --termasuk yang datang dari Indonesia-- untuk masuk ke pangsa pasar Benua Biru.

Hal itu berlandaskan pada mandat EU Renewable Energy Directive (RED II) yang baru dirilis pada 14 Juni 2018. Mandat itu merupakan hasil trialog antara Dewan Uni Eropa, Parlemen Uni Eropa, dan Komisi Uni Eropa.

"Mandat itu mencakup pengurangan bertahap sejumlah kategori energi bio (biofuels) tertentu sesuai target energi terbarukan 2030 Uni Eropa," kata Guerend seperti dikutip dari situs European External Action Service (EEAS), Eeas.europa.eu.

"Biofuels akan dinilai sama terlepas dari sumbernya. Sehingga, mandat itu tidak secara khusus berbicara mengenai pengurangan atau pelarangan minyak kelapa sawit. Uni Eropa adalah dan tetap menjadi pasar paling terbuka untuk minyak sawit Indonesia," lanjut Guerend.

Kerangka peraturan yang baru mencakup target energi terbarukan yang mengikat untuk Uni Eropa setidaknya 32 persen pada tahun 2030 terhadap 27 persen saat ini, dan mungkin lebih tinggi setelah tinjauan 2023.

Hal itu, menurut klaim Uni Eropa, memungkinkan mereka untuk mempertahankan peran utamanya dalam perang melawan perubahan iklim, dalam transisi energi bersih dan dalam memenuhi tujuan yang ditetapkan oleh Kesepakatan Iklim Paris, yaitu membatasi pemanasan global hingga dua derajat celcius.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya