Apindo Paparkan Strategi Genjot Ekspor

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengaku, memiliki sejumlah strategi meningkatkan pangsa ekspor Indonesia ke depan.

oleh Merdeka.com diperbarui 05 Des 2018, 20:52 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengaku, memiliki sejumlah strategi meningkatkan pangsa ekspor Indonesia ke depan.

Dia menuturkan, dalam upaya menggenjot ekspor, pemerintah perlu memetakan produk-produk unggulan terlebih dahulu untuk digulirkan ke negara-negara asal tujuannya.

"Jadi untuk ekspor lebih bisa naik kita harus langsung spesifik dengan negara mana? kemudian produknya apa? bagaimana kita bisa meningkatkan kapasitas daripada produk itu untuk bisa berdaya saing," ujar dia saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Rabu (5/12/2018).

Shinta mengatakan, dalam hal ini ada beberapa negara asal tujuan yang memang sejak awal sudah dipetakan. Misalnya saja, di Afrika yang dinilai paling dominan untuk Indonesia bisa masuk yaitu sektor makanan minuman (mamin). 

"Kira-kira mamin di sana itu sangat dibutuhkan begitu. Ini kita ngomongin persektor. Kalau ngomongin produk-produk besar seperti Indofood, sekarang sudah buka di Afrika ini perlu disupport lebih jauh ya seperti ini bisa, Mayora juga mulai besar di Afrika," ungkapnya.

Selain itu, sektor perikanan pun diperkirakan bisa masuk ke Negara Eropa seperti Norwegia. "Kita baru saja tandatangan afta sama Norwegia. Norwegia itu untuk perikanan Indonesia bisa menerima, spesifiknya seperti apa? produk ikan seperti apa yang bisa masuk ke Norwegia lebih banyak itu sangat spesifik sektornya. Ini yang perlu di maping oleh Indonesia," ujar dia.

Kemudian, setelah dilakukan pemetaan terhadap produk-produk unggulan ke negara asal tujuan, langkah selanjutnya adalah membuka perjanjian dengan mitra dagang Indonesia. Terutama menyangkut dari segi tarif.

"Dan ini semua yang harus diperbaiki karena kebanyakan produk ekspor kita tidak bisa kompetitif karena kalah dari segi tarif," kata dia.

Shinta mengakui dalam perjanjian dagang ini Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam. Dia menuturkan, Vietnam justru lebih agresif untuk melakukan perjanjian dagang dengan Uni Eropa.

"Seperti Vietnam yang punya perjanjian dagang misalnya dengan Uni Eropa itu tarifnya akan jauh dibanding indonesia. Mereka sekarang sudah bisa mengalahkan kita dengan perjanjian dagang itu dia langsung tarifnya. Sekarang mereka investasinya berapa kali lipat (dari) kita untuk industri padat karyanya," ujar dia.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 


Jokowi Minta Pengusaha Segera Setop Ekspor Komoditas Mentah

Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para pengusaha dan investor untuk membangun industri hilir di Indonesia dan berhenti mengekspor bahan mentah. Adanya hilirisasi industri dinilai akan menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia.

Jokowi menyatakan, CAD menjadi masalah bagi Indonesia selama bertahun-tahun. Namun selama ini masalah ini seolah tidak segera dicarikan solusinya.

"Ini sudah berpuluh tahun bahwa problem besar kita adalah CAD. Kita tahu, tapi kita tidak pernah mengeksekusi masalahnya sehingga dalam 2 tahun ini saya terus berkonsentrasi di sini," ujar dia dalam acara CEO Networking di Jakarta, Senin 3 Desember 2018.

Menurut dia, Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong ekonomi di dalam negari. Namun syaratnya, SDA tersebut harus diolah di dalam negeri sehingga memberikan nilai tambah.

"Negara kita SDA melimpah, batu bara, bauksit, nikel, dan lain-lain. Misalnya mineral bauksit, setiap tahun jutaan ton dengan harga USD 35 per tahun. Tapi pabrik kita mengimpor ton alumina, produk turunan bauksit. Kuncinya industrialisasi dan hilirisasi, kita tau tapi kita enggak pernah mengerjakan. Kalau kita sejak dulu membangun industri alumina, maka impor enggak perlu terjadi karena pengaruhnya pada CAD," kata dia.

Kemudian batu bara, lanjut dia, setiap tahun Indonesia mengekspor 480 juta ton batu bara mentah. Padahal, jika hilirisasi industri batu bara di bangun sejak awal bisa membuat komoditas ini diolah menjadi LPG dan avtur.

"Tapi kenapa tidak dilakukan hilirisasi itu, karena kita keenakan kirim bahan mentah terus dapat uang. Kita tahu bahwa kita impor bijinya itu 4 juta ton. Kalau kita belum siap teknologi, beli aja, cari saja. Selalu saya dorong, menyelesaikannya memang enggak mudah. Sekali lagi hilirisasi," ungkap dia.

Jokowi kemudian mencontohkan minyak sawit mentah (CPO) dan nikel. Selama ini Indonesia mengekpor nikel dalam bentuk mentah. Padahal jika diolah di dalam negeri, maka akan memberikan nilai tambah hingga empat kali lipat dibandingkan dijual dalam kondisi mentah.‎

"Kita juga kaya nikel, sudah berapa tahun jutaan ton kita ekspor dengan harga USD 30 per ton. Kalau berjalan, maka nilai tambahnya empat kali. Kita enggak tahu, tapi enggak pernah kita lakukan karena pemerintah enggak maksa. Sekarang kita paksa," jelas dia.

Jokowi mengajak para pengusaha dan investor untuk tidak lagi melakukan ekspor komoditas dalam bentuk mentah. Indonesia harus membangun industri hilir agar komoditas SDA tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi.

"Hal seperti ini tidak bisa kita terus-teruskan, saya mengajak seluruh CEO agar lakukan industrialisasi dan hilirisasi. Setop ekspor bahan mentah. Memang ekspor lebih enak daripada industri," tandas dia.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya