Liputan6.com, Manila - Tak ada yang mengira, pria berpenampilan necis, dengan stelan jas lengkap itu bakal bikin onar di acara yang dihadiri Imelda Marcos, bahkan berniat membunuh ibu negara Filipina itu.
Carlito Dimahilig, nama pria itu, naik ke panggung saat Imelda Marcos sedang menyerahkan penghargaan ke pemenang National Beautification and Cleanliness Contest di Nayong Pilipino di Pasay City, Kamis 7 Desember 1972.
Advertisement
Sekonyong-konyong, Dimahilig, mengeluarkan pisau bolo, senjata tajam mirip belati, yang disembunyikan di lengan kirinya. Ia pun melancarkan serangan.
Insinyur geodesi itu mengincar bagian dada Imelda Marcos. Namun perempuan itu cukup sigap. Ia melindungi bagian depan tubuhnya dengan tangan dan lengan, lalu menjatuhkan diri.
Tak berhasil menyerang targetnya, Dimahilig mengamuk membabi buta. Ia berusaha menusuk siapapun yang berusaha menghentikan aksinya, termasuk anggota Kongres, José Aspiras dan sekretaris kontes Linda Amor Robles.
Aspiras menderita luka dalam di kepalanya. Sementara, Robles, yang kala itu berusia 22 tahun cedera berat di bagian punggungnya.
Saat serangan terjadi, tak ada aparat keamanan yang menjaga Imelda Marcos. Mereka baru tiba setelah penyerang dibekuk para partisipan kontes. Salah satu pengawal Imelda menembakkan dua peluru ke punggung pelaku yang kemudian tewas di tempat.
Imelda Marcos segera dilarikan ke Makate Medical Center menggunakan helikopter. Ia harus menerima 75 jahitan di tangan dan lengannya.
Suaminya, Presiden Ferdinand Marcos bergegas ke rumah sakit. Ia dilaporkan terkejut bukan kepalang.
Seperti dikuti dari New York Times, Imelda Marcos kala itu dinyatakan dalam kondisi aman. Dokter mengatakan, istri Ferdinand Marcos itu bisa pulang dalam beberapa hari.
Meski demikian, Dr. Robert Chase, ahli bedah tangan dari Stanford University, California diterbangkan ke Manila untuk menangani mantan ratu kecantikan itu.
Menteri Informasi Filipina, Francisco S. Tatad, mengatakan insiden tersebut bisa jadi bagian dari konspirasi sayap kanan yang merencanakan pembunuhan Presiden dan Ibu Negara Filipina.
"Pelaku bisa beraksi karena ia bisa naik ke atas panggung tanpa halangan...Ia tidak beraksi sendirian," kata dia.
Tatad menambahkan, sekitar sejam sebelum insiden yang terjadi pada pukul 16.30, seseorang menelepon Istana Malacanang, bertanya apakah Marcos akan pergi ke Nayong Filipino. Sang presiden kerap melakukan kunjungan dadakan ke acara yang dipimpin istrinya.
Di sisi lain, tak sedikit orang yang yakin, upaya pembunuhan itu dipentaskan untuk memenangkan simpati rakyat, mirip ketika Darurat Militer dideklarasikan.
Belakangan, Imelda Marcos angkat bicara soal penyerangan atas dirinya.
"Saat pria itu berupaya menyerangku dengan bolo, aku melihat ke sekeliling, aku berkata, 'siapa yang akan dia bunuh'. Aku tak sadar ia mengincarku," kata Imelda Marcos, seperti dikutip dari Rappler.
Imelda juga bertanya-tanya, mengapa penyerangnya memilih menggunakan senjata yang 'jelek'.
"Jika seseorang ingin membunuhku, mengapa mereka memilih bolo yang jelek. Aku harap ia menghiasnya dengan semacam pita kuning atau apapun yang menyenangkan. Mengapa harus menggunakan senjata yang terlihat buruk itu," kata dia, bercanda.
Tak hanya upaya pembunuhan terhadap Imelda Marcos, tanggal 7 Desember juga menjadi momentum sejumlah peristiwa bersejarah.
Pada 1941 terjadi peristiwa pengeboman Pearl Harbor oleh pasukan Dai Nippon yang menyeret Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia II.
AS Masuk Pusaran Perang Dunia II
Serangan Jepang ke Pearl Harbor pada 7 Desember 2018 menyeret Amerika Serikat ke pusaran Perang Dunia II.
Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat yang berlabuh di Pangkalan Pearl Harbor, Hawaii nyaris tinggal puing, luluh lantak dihentak serangan mendadak pasukan Jepang.
Delapan belas kapal tenggelam atau kandas, termasuk lima kapal perang. Sekitar 188 jet tempur tak sanggup lagi mengudara. Yang paling mengenaskan adalah korban jiwa yang terenggut.
Sebanyak 2.403 warga Amerika Serikat meninggal dunia, 1.178 lainnya luka. Saat kejadian, status mereka adalah non-kombatan. Kala itu Amerika Serikat tak sedang berperang. Belum.
Kabar duka dari Pearl Harbor membuat warga Negeri Paman Sam sedih sekaligus murka. Presiden AS kala itu, Franklin Delano Roosevelt (FDR) merasa perlu bertindak.
Sehari setelah tragedi Pearl Harbor, berjalan kepayahan dipapah putranya James, FDR menuju Kongres AS. Siang itu ia meminta persetujuan parlemen. Sang presiden berniat menabuh genderang perang melawan Jepang.
"Kemarin, 7 Desember 1941, adalah hari yang kekal dalam keburukan," kata FDR seperti dikutip dari situs History.
"AS secara tiba-tiba dan disengaja diserang oleh kekuatan laut dan udara Kekaisaran Jepang. Tak peduli berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk mengatasi invasi yang terencana ini, orang-orang Amerika, yang berada di pihak yang benar, niscaya akan meraih kemenangan mutlak."
Pidato Roosevelt yang berdurasi 10 menit, diakhiri dengan sebuah doa. "Maka, bantulah kami, Tuhan."
Hanya dalam satu jam, sang presiden memperoleh restu Kongres, nyaris secara bulat. Hasil pemungutan suara di Senat adalah 82:0, sementara di Kongres 388:1.
Deklarasi perang ditandatangani pada pukul 16.10. Kala itu, kain hitam melingkar di lengannya Roosevelt, simbol duka cita untuk Pearl Harbor.
Rasa nasionalisme membuncah di seluruh Amerika Serikat, dari Pantai Timur ke Pantai Barat.
Rakyat memobilisasi diri, bergabung dalam satuan pertahanan sipil. Di New York, Wali kota Fiorello LaGuardia memerintahkan penangkapan warga keturunan Jepang. Mereka kemudian dikirim Pulau Ellis dan ditahan tanpa batas waktu.
Di California, sistem baterai anti pesawat dipasang di Long Beach dan Hollywood Hills. Laporan tentang aktivitas mata-mata warga Amerika Serikat keturunan Jepang mengalir deras ke Washington DC, meski mereka telah menyatakan kesetiaan pada AS, bukan negeri leluhurnya.
Serangan Jepang ke Pearl Harbor menyeret Amerika Serikat ke pusaran Perang Dunia II.
Dan, seperti sumpah Franklin Delano Roosevelt, Amerika Serikat keluar sebagai pemenang. Dua bom atom, Little Boy dan Fat Boy menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki.
Akibatnya sungguh luar biasa, ribuan orang tewas seketika. Ironisnya, insiden bom nuklir pertama dan satu-satunya yang digunakan manusia di tengah pertempuran itu mengakhiri Perang Dunia II yang sudah menyudahi jutaan nyawa manusia.
Advertisement