Kebijakan Simplikasi Cukai Rokok Dinilai Sudah Tepat

PMK 146 tahun 2017 menyederhanakan struktur tarif cukai rokok berjumlah 10 "layer" pada 2018.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Des 2018, 20:25 WIB
Ilustrasi cukai rokok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Ekonom World Bank Indonesia, Frederico Gil Sander berharap pemerintah tetap menjalankan kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok pada 2019.

"Kami harapkan penyederhanaan struktur cukai tersebut bisa kembali berjalan tahun depan," jelas dia dikutip dari Antara, Jumat (7/12/2018)

Dalam pandangannya, kebijakan penyederhanaan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK 146 tahun 2017) yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sudah baik. Karena itu, dia sangat menyayangkan kebijakan yang baru berjalan pada 10 layer tersebut ditunda penerapannya.

"Penyederhanaan struktur cukai tembakau sebetulnya merupakan langkah yang sudah tepat. Itu menunjukkan reformasi gradual yang baik," katanya.

Sebelumnya peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyatakan kebijakan penyederhanaan yang dibuat Kementerian Keuangan sudah tepat.

Jika direvisi, maka kebijakan ini tidak akan memberikan manfaat bagi masyarakat.

"Kami ingin meyakinkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan cukai agar konsisten dengan yang sudah diputuskan. Karena kan PMK sudah keluar. Kalau dicabut dan diperlemah, maka kalangan masyarakat sipil yang mempertanyakan. Ada apa di balik itu?" kata Abdillah.

PMK 146 tahun 2017 menyederhanakan struktur tarif cukai rokok berjumlah 10 "layer" pada 2018. Dari 2019 sampai 2021 mendatang, tarif cukai rokok juga disederhanakan setiap tahunnya menjadi 8,6, dan 5 "layer". Adapun pada 2017 lalu, tarif cukai rokok mencapai 12 "layer".

Dia juga menambahkan revisi PMK justru akan menciptakan polemik besar di publik.

"Kami tidak setuju jika ada revisi karena Pemerintah sudah mengeluarkan perencanaan yang berkekuatan hukum tetap melalui peraturan menteri keuangan," ujar Abdillah.


Kenaikan Batas Produksi SKT Golongan 2 Bisa Ancam Pabrikan Rokok Kecil

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pemerintah diminta untuk tidak menaikkan batasan produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 2. Kenaikan batasan produksi dari 2 miliar batang rokok menjadi 3 miliar batang per tahun dikhawatirkan bisa mematikan pabrikan rokok kecil.

Hal ini dinilai akan membuat pabrikan kecil berhadapan langsung dengan pabrikan besar yang memiliki kekuatan modal tinggi.

"Saya rasa Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani, sangat bijak dalam mengambil keputusan. Pabrikan rokok kecil akan bertambah habis karena tidak mampu bersaing dengan pabrikan besar. Ini golongan bawah yang harus dilindungi," kata Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, Selasa (13/11/2018).

Batasan produksi untuk segmen SKT saat ini, kata Djoko, sudah tepat. Pabrikan yang produksi rokok hingga 500 juta batang akan masuk ke golongan 3, dan pabrikan yang produksi antara 500 juta hingga dua miliar batang masuk ke golongan 2.

Sementara itu, pabrikan yang produksi di atas dua miliar batang masuk ke golongan 1. Terkait ini, Djoko berharap pemerintah melindungi pabrikan rokok kecil dengan tidak menaikkan batas produksi, khususnya untuk SKT golongan 2.

"Ini keuntungan bagi mereka yang punya kekuatan modal. Pabrikan yang produksi lebih dari 2 miliar batang harusnya naik ke golongan I. Pemerintah saya harap bijaksana," tegas Djoko.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya