4 Kisah Menggetarkan dari Aceh: Lolos dari Tsunami dan Cerita Eks GAM

Cerita itu bisa saja datang dari para penyintas, orang-orang yang masih diberi kesempatan hidup, setelah beradu tarung dengan sang kematian. Misal Rahmat yang selamat tsunami, atau Ama Tebi dari terkaman buaya.

oleh Rino Abonita diperbarui 10 Des 2018, 00:06 WIB
Jamaluddin berpakaian saat masih menjadi anggotanTNA/ GAM. (Liputan6.com/Rino Abonita/ Dok. Jamaluddin)

Liputan6.com, Aceh - Sebuah peristiwa tak melulu soal kehebohan, yang membuat mata terbelalak, namun juga menyentuh mata batin, relung terdalam kita sebagai manusia. Agar dipetik makna bagaimana mensyukuri hidup.

Cerita itu bisa datang dari para penyintas, orang-orang yang diberi kesempatan hidup, setelah beradu tarung dengan kematian. Misal Rahmat yang selamat dari tsunami, atau Ama Tebi dari terkaman buaya.

Ada pula kisah Ratna, bidan di Aceh Tamiang yang menyabung nyawa, menerobos banjir demi menyelamatkan nyawa pasiennya. Beda dengan Jamaludin, eks-anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang selamat dari bidikan sniper saat salat.

Berikut empat kisah orang Aceh yang pernah bergelut dengan maut yang berhasil dirangkum Liputan6.com dalam Kaleidoskop 2018.

1. Kisah Lelaki Aceh yang Selamat dari Tsunami Palu Berkat Azan

Rahmat Saiful Bahri berada lantai paling atas Swiss-Belhotel Silae, Palu, kala gempa bermagnitudo 7,4 yang disusul tsunami melanda ibu kota Sulawesi Tengah itu, Jumat, 28 September 2018.

Dari lantai paling suara azan yang dikumandangkan oleh Rahmat menyeruak diantara kerumunan penghuni dan karyawan hotel yang sedang ketakutan saat itu.

Di benak lelaki yang tercatat sebagai Kepala Sekretariat Majelis Adat (MAA) Kota Banda Aceh itu hanya ada securah harapan dan segenap doa. "Kuserahkan seluruhnya kepada-Mu ya Allah".

Bersamaan dengan itu, gelombang besar diperkirakan setinggi 3 meter lebih menerjang dan menghancurkan berbagai bangunan yang dilewatinya. Kendaraan dan berbagai benda lainnya tampak bak anai-anai. Mengapung, saling bertubrukan, terombang tak berdaya.

Beruntung, pria hendak mengikuti workshop 'Nasional Best Practise Implementasi Penguatan Peran Tokoh Informal dan Lembaga Adat', yang akan digelar di Swiss-Belhotel Silae Palu itu, selamat. Padahal, hotel yang dimana dia menginap letaknya menghadap ke Teluk Palu, dan hanya beberapa meter saja dari pinggir pantai.

Rahmat yakin, kumandang azan yang dilakukan pada senja dimana musibah itu terjadi, sedikit banyak telah menyelamatkannya.

"Kalau kita di Aceh kan, biasanya saat terjadi bencana, apapun itu, kita orang Aceh selalu refleks mengumandangkan azan," kisah Rahmat, kepada Liputan6.com, Minggu (7/10/2018).

Pria yang sempat dianggap telah tiada oleh keluarga dan sanak famili ini bisa pulang dan kembali bercengkrama dengan anak istri beberapa hari setelah musibah yang menelan ribuan nyawa manusia itu terjadi. Sebelumnya, dia sempat mengungsi ke gunung, dan terkatung-katung di Bandar Udara SIS Al-Jufrie, Palu.

Pria yang juga selamat dari gulungan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 ini sempat makan makanan sisa, dan tidur di hamparan rumput, pada hari-hari dimana musibah itu baru saja terjadi. Rahmat kembali ke Aceh pada Rabu, 3 Oktober 2018.

Di Banda Aceh, Rahmat di peusijeuk (semacam selamatan) sesaat di Kantor Wali Kota Banda Aceh. Disitu ia disambut oleh sang Wali Kota Aminullah Usman, yang juga memimpin upacara peusijuek. Rahmat baru dapat pulang ke rumah menjumpai keluarga setelah upacara itu selesai.


Kisah Ama Tebi Selamat dari Mulut Buaya

Ilustrasi Foto Buaya (iStockphoto)

Kisah manusia bergumul dengan maut yang kedua datang dari Aceh Singkil. Adalah Yoleares alias Ama Tebi (33), Nelayan Ujung Sialit, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil selamat setelah beberapa menit bergumul dengan sang predator sungai, buaya.

Ama Tebi selamat setelah lima menit bergumul dengan hewan ganas tersebut pada Selasa, 9 Oktober 2018, malam, saat ia dan tiga rekannya melaut. Dia dan tiga rekannya melaut di sekitaran Pulau Matahari, Kecamatan Pulau Banyak Barat, yang memang dikenal sebagai sarang buaya.

Kejadian itu berawal saat Ama Tebi terjun ke laut untuk melihat hasil tangkapannya. Ama Tebi tak menyadari ada seekor buaya mendekatinya. Tiba-tiba saja kepalanya diterkam oleh buaya tersebut.

Ama Tebi berupaya melepaskan dirinya dan bergelut dengan hewan yang hendak memangsanya itu. Beruntung sang buaya tersebut melepas gigitannya.

"Saya Lagi berada di dalam laut. Tiba-tiba buaya itu menerkam kepala saya. Saya mencoba melepaskan kepala saya dari mulutnya. Tapi entah kenapa tiba-tiba dilepasnya. Itu kejadian pukul 23.30 WIB," kisah Ama Tebi kepada Liputan6.com, Kamis (11/10/2018).

Melihat Ama Tebi dalam kondisi sekarat, ketiga rekannya, Ama Ifan, Reliaman, dan Ama Boyi menyelematkan Ama Tebi dan membawanya ke darat. Ama Tebi diobati oleh petugas medis dari Puskesmas setempat.

Ia mendapat luka-luka di bagian kepalanya. Namun Ama Tebi tak mempermasalahkan luka-luka tersebut. Baginya, yang penting nyawanya terselamatkan. "Sudah diobati bang, tapi belum sembuh," ujar Ama Tebi.

Kepala Puskesmas Pulau Banyak Barat, dr. Zulmahdi, yang membenarkan kejadian yang menimpa Ama Tebi. Dan Ama Tebi sudah ditangani petugas media setempat.

"Korban sudah ditangani oleh petugas medis kita. Ia mengalami luka-luka di bagian kepalanya akibat diterkam buaya. Korban berada di rumahnya saat ini," ujar Zulmahdi.


Ratna, Menantang Banjir Singkil Demi Selamatkan Pasien

Bidan Ratna tembus banjir di Aceh Singkil (Liputan6.com/Rino Abonito)

Tidak sedikit yang tewas karena tenggelam dalam banjir. Ratna Berutu (29) tahu betul itu. Demi sumpah 'bhakti husada' yang diembannya, bidan bakti itu rela menyabung nyawanya sendiri. Dia tak tega mendengar suara di ujung telpon, ibu hamil meringis kesakitan. Jika telat ditolong, ibu dan janin yang dikandung bisa saja tidak selamat.

Malam itu, dia dijemput keluarga pasien. Mereka membawa perahu. Namun Ratna memilih berjalan kaki hampir sejam lamanya, melewati banjir seketiak, dan menyusuri sungai. Dia melalui itu semua dibawah rintik hujan, dan dibawah bayang-bayang ketakutan terseret oleh arus banjir.

"Saya kasih nafas buatan mulut ke mulut. Walaupun dalam keadaan berdarah-darah. Saya menangis sambil berdoa. Minta pertolongan dari tuhan. Supaya diturunkan mukjizatnya ke anak itu," kisah Ratna kepada Liputan6.com, Jumat, 19 Oktober 2018.

Malam itu, di tengah derasnya hujan yang mengguyur Desa Situban Makmur, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, bidan bakti itu berjibaku dengan alat seadanya, menyelamatkan dua nyawa sekaligus.

Hampir 20 menit lamanya Ratna berjibaku dengan upaya dan doanya, ketika tangis seorang bayi perempuan pecah, menyela diantara derasnya hujan malam itu. Si ibu bayi menangis haru. Namun, bukan semata anaknya lahir dengan selamat, tapi mengingat perjuangan sang bidan bakti, Ratna Berutu.

"Kau memang bidan luar biasa! Belum pernah kami jumpai bidan seperti kau. Yang mau ngasih nafasnya langsung dari mulut ke mulut," Ratna meniru ucapan si ibu bayi kepadanya. "Disitu saya mau menangis," lirih Ratna.

Kendati berjalan cukup dramatis, proses persalinan itu berjalan seperti yang diharapkan. Perjuangan akhirnya terbalaskan. Bayi itu lahir sekitar pukul 20.00 WIB dengan bobot normal.

Bagi Ratna, menjadi bidan adalah pengabdian hidup. Terlebih, profesi yang digelutinya itu adalah cita-citanya sejak kecil. Kecuali itu, ia punya kisah tersendiri kenapa dirinya begitu termotivasi menjadi seorang bidan.

Ratna tidak ingin apa yang pernah dialami ibunya dialami pula oleh ibu-ibu lain. Ia pernah kehilangan adiknya yang baru mencecap udara tak lama berselang setelah dilahirkan. Kendati ada tangan takdir yang bermain, bagi Ratna, proses melahirkan tanpa bidan yang dilewati oleh sang ibu turut menjadi penyebab. Setelah kejadian itu, tergetuk di benak Ratna kecil ingin menjadi seorang bidan jika ia dewasa nanti.

"Karenanya, kejadian itu menjadi motivasi saya saat itu. Saya ingin menjadi bidan. Supaya, kalau nanti ada yang melahirkan, janganlah seperti adik saya itu. Karena waktu ibu saya melahirkan, enggak ada bidannya," ucap Ratna.


4. Kisah Ciep-Ciep, Eks-GAM yang Lolos dari Bidikan Sniper

Kisah orang-orang Aceh yang sempat bergumul dengan maut ditutup dengan cerita seorang eks-kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meski kisah ini sudah lama terjadi, namun, semangat meraih mimpi sang pelaku pasca nyawanya selamat dari bidikan sniper TNI kiranya menarik untuk disimak.

Kisah ini dialami oleh Jamaluddin, eks- GAM kelahiran 3 Juni 1982, di Desa Gunci, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara. Dia mulai bersentuhan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 2000. Jiwa keprajuritannya ditempa saat mengikuti latihan di kamp pelatihan militer GAM di Lhok Drien, Daerah I, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara.

Walau tercatat sebagai pasukan Teuntra Nanggroe Aceh (TNA), yang merupakan sayap tempur GAM. Namun, saat itu, Jamal tetap bersekolah. Dia bersekolah di SMA PGRI Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara. Ketika ujian naik kelas tiba, Jamal tidak sungkan-sungkan meminta izin kepada komandannya untuk cuti.

"Setiap ujian naik kelas, saya tetap pulang untuk mengikuti ujian sekolah. Dalam situasi darurat militer itu, saya menganggap pendidikan sangat penting untuk kehidupan," ujar Jamal, kepada Liputan6.com, Selasa, 13 November 2018.

Namun, setelah mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) atau sekarang UAN, pada 2002, Jamal mengubur niatnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dia memilih bergabung dengan pasukan GAM Wilayah IV. Banyak pertempuran yang dilalui Jamal. Namun, hanya satu yang menurutnya paling berkesan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2004 silam.

Saat itu, eskalasi konflik bersenjata di Aceh cukup menanjak. Jamal bersama rekan-rekannya sedang beristirahat di kawasan kawasan hutan Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Disaat yang sama, pergerakan kelompok GAM Wilayah IV dibawah komando Tengku Muharram itu sedang berada dibawah intaian TNI. Mereka dikepung.

Ketika itu, hari menjelang sore. Jamal alias Ciep-Ciep bersiap menunaikan salat ashar. Senapan Avtomat Kalashnikova kesayangan ditaruh di sisinya. Sementara, rekannya berjaga-jaga dengan mata awas. Seperti biasa, ketika seseorang di antara mereka salat, yang lain menjaga, begitu pun sebaliknya.

Lelaki itu sadar, nyawa mereka sedang diburu. Bisa saja, sewaktu-waktu sebutir peluru menerjang tubuh gempalnya, ketika dia salat. Namun, bagi Jamal, 'langkah, rezeki, pertemuan, maut', biar Sang Khalik saja yang punya rahasia. Ibadah tak boleh ditakar, jika waktu mendatangi, cukup manusia menghampiri.

Apa yang dikhawatirkan betul terjadi, baru saja dia menyelesaikan tasyahud awal ketika terdengar suara mendesing di antara pepohonan. Dia terkesiap. Terasa ada embusan angin melewati kepalanya. Peluru dari sniper yang mengincar kepala Jamal tak mengenai sasaran. Jamal terperanjat. Hutan saat itu menjadi medan tempur antara GAM dan TNI.

"Bidikan di jidat. Karena mereka, TNI, saat itu berada di ketinggian," demikian kata Jamal, seraya menunjuk-nunjuk kening dengan jari telunjuk kanannya. Hari itu, kata Jamal, pertempuran antara pihaknya dengan TNI berlangsung hingga malam. Namun, dia tak tahu apakah ada korban di pihak TNI, sementara di pihaknya tidak ada.

"Saat kontak tembak terjadi, hanya ada dua pilihan. Bunuh atau dibunuh. Perang itu kasar, harus kuat nyali untuk menjadi seorang gerilyawan," kata dia.

Setelah GAM menandatangani MoU dengan RI pada 2005 silam. Jamal sempat bekerja di bawah naungan Komite Peralihan Aceh (KPA). Dia juga sempat beternak ayam. Namun, rupanya cita-cita sejak kecil masih diingatnya. Baginya, itu adalah nazar yang patut dilepas.

Medio 2011, hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi muncul kembali. Tak mau jiwanya yang haus pendidikan itu mati, Jamal mendaftarkan diri ke Fakultas Ekonomi Universitas Setia Budi Mandiri, Medan, Sumatera Utara.

Karena begitu lama memegang senjata, Jamal sempat keteteran saat memegang pena. Pada titik ini, Jamal juga sempat kecewa. Pasalnya, tidak ada pihak yang mau menyokong dana untuk para eks kombatan yang hendak mencecap pendidikan seperti dirinya.

Berkat adanya tekad yang kuat serta didukung oleh rekan-rekan dari civil society tempatnya belajar berorganisasi, serta bermodalkan peternakan ayam boiler yang digarap secara swadaya sejak aktif bekerja di bawah naungan KPA pada 2006 lalu, Jamal akhirnya berhasil meraih gelar sarjana muda pada tahun 2014.

Tak sampai di situ, pada 2015, Jamal melanjutkan pascasarjana di Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Baru-baru ini, suami Merianti itu berhasil menyisipkan titel master di ujung namanya. Lelaki bergelar Magister Manajemen itu menggondol Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.44.

"Allah masih berkehendak lain saat itu. Dan saya selamat hingga hari ini," syukurnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya