Jakarta - Jarak waktu 17 tahun jelas bukan sebentar sebagai sebuah penantian. Kesabaran The Jakmania menyaksikan tim kesayangannya Persija Jakarta mengangkat trofi juara kasta tertinggi sudah begitu lama. Mereka rindu juara!
Persija, salah satu klub legendaris Tanah Air, terakhir kali mengangkat piala juara kompetisi elite pada musim 2001. Semenjak saat itu tim ibu kota seperti kesulitan menjadi yang terbaik.
Bambang Pamungkas kini jadi satu-satunya saksi hidup sukses Tim Macan Kemayoran menjadi juara Liga Indonesia 17 tahun silam. Saat itu Bepe menyumbang gol dalam duel final melawan PSM Makassar yang berkesudahan 3-2 di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Musim 2018 ini mungkin jadi musim terakhir striker dengan nomor punggung 20 itu merumput sebagai seorang pesepak bola. Jelang kompetisi bergulir, predator berusia 38 tahun tersebut sudah memberi sinyal bakal pensiun.
Rasa penasarannya ingin sekali lagi mencicipi madu trofi juara agaknya jadi penyebab Bambang masih ingin bermain, setidaknya semusim lagi.
Hasrat kuat sama diusung pemain senior lainnya, Ismed Sofyan. Bergabung ke Persija Jakarta sejak tahun 2002, bek sayap kanan asal Aceh itu belum sekalipun merasakan kebahagiaan mengangkat piala jawara kompetisi.
Baca Juga
Advertisement
Di usianya yang sudah 38 tahun, Ismed yang jadi kapten Persija Jakarta, ingin menyudahi rasa penasarannya, bagaimana rasanya menjadi juara.
"Saya utang budi banyak pada klub ini. Saya ingin memberikan gelar juara buat mereka sebelum gantung sepatu. Saya yakin bisa," ujar Ismed.
"Seandainya tahun ini kami juara, maka saya dan Ismed akan pensiun,” tutur Bepe saat launching jersey baru Persija musim 2018 ini.
Keyakinan Ismed mengangkat piala di pengujung kariernya rasanya masuk akal. Persija belakangan jadi kekuatan menakutkan di perhelatan kasta elite Tanah Air.
Setelah memenangi gelar pramusim Piala Presiden 2018 grafik penampilan tim asuhan Stefano "Teco" Cugurra terus menanjak. Sempat terseok-seok di putaran pertama Gojek Liga 1 2018 bersama Bukalapak musim ini, tim ibu kota menemukan bentuk permainan terbaik begitu paruh kedua kompetisi.
Duel Persib Bandung Vs Persija di awal putaran kedua merubah peta persaingan kompetisi. Maung Bandung menang 2-1, namun hasil akhir pertandingan tersebut tak berefek mempertahankan kelanggengan Persib di puncak klasemen.
Kasus kematian suporter Persija, Haringga Sirla, di Stadion Gelora Bandung Lautan Api berefek panjang. Persib dihukum laga usiran tanpa boleh ditonton suporter setianya. Mental bertanding pasukan asuhan Mario Gomez ambruk, berdampak langsung dengan hasil-hasil pertandingan.
Jadilah rivalitas perebutan gelar juara mengkristal antara Persija Jakarta dengan PSM Makassar. Serunya keduanya saling sikut hingga laga pengujung kompetisi.
Pasang Surut Prestasi Macan Kemayoran
Catatan sejarah menempatkan Persija hingga saat ini tercatat sebagai klub terbanyak meraih gelar juara kompetisi kasta tertinggi Tanah Air. Mayoritas di antaranya didapat di era kompetisi perserikatan.
Persija tercatat menjadi jawara perserikatan edisi tahun 1931, 1933, 1934, 1938 (dengan nama VIJ Jakarta), 1954, 1964, 1973, 1975, 1979. Sebiji gelar lagi didapat Macan Kemayoran di era Liga Indonesia (penggabungan Galatama dan Perserikatan), tepatnya pada musim 2001.
Koleksi gelar juara yang diraih Tim Macan Kemayoran mengalahkan Persebaya Surabaya, PSMS Medan, PSIS Semarang, atau Persib Bandung.
Bahkan pada periode 1950 hingga 1970-an Persija tidak pernah kering mencetak pesepak bola berbakat. Mereka lahir dari binaan kompetisi internal yang tertata rapi.
Persija kerap dijuluki miniatur Timnas Indonesia, lantaran banyaknya pemain yang masuk skuat Tim Merah-Putih.
Di era 1960-an sosok Endang Witarsa melegenda sebagai pelatih bertangan dingin yang banyak mencetak pemain-pemain belia Persija. Pelatih yang berprofesi sebagai dokter gigi itu dikenal sebagai arsitek yang doyan memaksimalkan darah muda. Di eranya materi pemain Persija rataan usianya 16-19 tahun!
Sinyo Aliandoe, Surya Lesmana, Yudo Hadiyanto, hingga Soetjipto Soentoro adalah sederet pemain Persija didikan Endang Witarsa yang jadi pelanggan Tim Garuda, yang pada era tersebut disebut sebagai Macan Asia.
Pada era 1960-1970 Persija amat produktif mencetak pemain-pemain berkualitas yang jadi pilar Timnas Indonesia.
Iswadi Idris, Rony Paslah, Anjas Asmara, Sutan Harhara, Oyong Liza dan Risdianto adalah figur-figur kunci Persija jadi Raja Indonesia pada tahun 1973, 1975, 1979.
Persija dengan warna khas warna merah dan putih mengalami masa-masa sulit pada periode 1980-an sampai awal 1990-an.
Tim Macan Kemayoran sempat hampir degradasi dari kompetisi elite perserikatan pada 1985-1986. Beruntung Persija lolos dari kemelut, setelah sukses jadi jawara play-off promosi degradasi di Cirebon pada awal tahun 1986. Momen kelam itu tak akan pernah terlupakan hingga kini.
Uniknya walau kering prestasi Persija tetap subur melahirkan pemain-pemain top di era tersebut.
Patar Tambunan, Adityo Darmadi, Tiastono Taufik, Rahmad Darmawan, Noah Meriem dan Tony Tanamal adalah pemain-pemain binaan Persija yang kerap dipanggil membela Timnas Indonesia. Kondisi internal organisasi membuat Persija kesulitan mencetak prestasi.
Penggabungan kompetisi Perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an tak membuat penampilan Persija membaik. Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi, Persija terhuyung-huyung.
Momen penting terjadi pada 1996 saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur asal Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.
Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos (panggilan akrabnya) menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye.
Ia punya pandangan tersendiri saat memilih oranye sebagai warna kebesaran klub pengganti Persija. Ia berpandangan warna Jingga yang mentereng memiliki aura kemegahan, sepintas seperti pancaran warna emas.
Bang Yos beranggapan warna merah dan putih kurang kuat sebagai identitas diri, karena banyak klub-klub di Indonesia yang juga mengenakan warna ini sebagai warna kebesaran, sebut saja PSM Makassar atau Persipura Jayapura. Warna Merah-Putih juga menjadi warna dasar buat timnas Indonesia.
Oranye lekat dengan timnas Belanda, negara yang ada di level elite di jagat sepak bola internasional. Gaya permainan menyerang De Oranje amat dikagumi Sutiyoso.
“Saya ingin Persija bermain total football layaknya Timnas Belanda yang enak untuk ditonton,” ujar Bang Yos dalam sebuah perbincangan dengan Bola.com beberapa tahun silam.
Persija yang tengah menjalani proses lahir baru butuh sebuah gebrakan untuk menandai kebangkitannya. Warna oranye yang dipilih sebagai identitas baru Tim Macan Kemayoran, ternyata membawa aura positif.
Klub yang di awal penyelenggaraan Liga Indonesia terseok-seok jadi penghuni tetap papan bawah, kembali ke khitah sebagai klub elite Tanah Air. Persija bukan lagi klub kalahan.
Gelar juara LI 2001 menegaskan kebangkitan Persija di perhelatan elite Tanah Air.
Minggu Malam, 7 Oktober 2001, jadi momen yang tidak bisa dilupakan bagi pendukung Persija, The Jakmania. Warna oranye mendominasi Stadion Utama Gelora Bung Karno. The Jakmania datang ke stadion buat memberi dukungan kepada Macan Kemayoran yang berhadapan dengan PSM Makassar di final Liga Indonesia 2001.
Laporan pertandingan PSSI menyebut angka penonton laga ini menembus 60 ribu orang. Dukungan The Jakmania membakar semangat Bambang Pamungkas dkk. di lapangan.
Persija unggul tiga gol sumbangan Imran Nahumarury dan Bepe (2 gol), sebelum akhirnya Tim Juku Eja memangkas skor menjadi 3-2.
Gol kedua Bambang masuk kategori gol indah. Playmaker Persija kala itu, Luciano Leandro berperan besar dalam proses terjadinya gol tersebut.
Pemain asal Brasil itu menyodorkan umpan lambung ke Bepe yang dalam posisi bebas di sisi luar pertahanan PSM. Bek Ayam Jantan dari Timur, Joseph Lewono, kelimpungan mengejar lari Bambang. Tendangan keras sang striker mengoyak gawang PSM yang dikawal Hendro Kartiko.
"Saya sudah menduga kiper akan mempersempit ruang tembak, tapi dengan kaki kiri saya arahkan bola ke kanan atas yang tak terjangkau olehnya," ujar Bepe yang di Liga Indonesia 2001 mencetak 15 gol dan mencatatkan diri sebagai pemain terbaik.
"Gol yang brilian. Bambang cerdik sekaligus licin bisa melepaskan diri dari pemain belakang kami. Saya sudah mencoba mempersempit ruang tembak, tapi ia masih bisa melihat celah kosong," komentar Hendro Kartiko.
Pelatih PSM, Syamsuddin Umar mengakui Persija pantas menjadi kampiun. "Mereka unggul materi pemain. Kualitas tim inti dan pengganti sama bagus. Sementara di tim kami hal itu menjadi masalah."
Di Liga Indonesia 2001 skuat Persija memang mentereng. Selain Bambang, tim Oranye punya pemain-pemain berkelas macam Luciano Leandro, Gendut Doni, Anang Ma'ruf, Nuralim, Antonio Claudio, hingga Imran Nahumarury.
The Jakmania berpesta usai Persija mengangkat piala. Bepe dkk. diarak keliling jalan besar ibu kota. Suporter sempat merayakan kesuksesan tim kesayangannya di Bundaran Hotel Indonesia.
Akankah penantian panjang menikmati madu juara disudahi di Gojek Liga 1 2018 bersama Bukalapak ini. Semua berpulang ke Persija sendiri.
Di atas kertas, Tim Macan Kemayoran punya peluang lebih besar dibanding PSM Makassar. Persija mengantungi 59 poin di 33 pertandingan. Sementara itu Tim Juku Eja 58 poin.
Duel terakhir melawan Mitra Kukar yang dihelat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Minggu (9/12/2018) terasa amat krusial. Jika bisa menang atas kubu lawan yang juga tengah berjuang lepas dari jerat degradasi. Di sisi lain, PSM juga dihadapkan situasi sama, mereka akan menjamu PSMS Medan, yang posisinya juga kritis di Stadion Andi Mattalatta Mattoangin, Makassar di hari yang sama.
Sumber: Bola.com
Advertisement