LBH Jakarta Desak OJK Tuntaskan Masalah 1.330 Korban Pinjaman Online

Usai pos pengaduan korban pinjaman online ditutup pada 25 November 2018, LBH Jakarta menerima 1.330 pengaduan dari 25 provinsi di Indonesia.

oleh Bawono Yadika diperbarui 09 Des 2018, 14:15 WIB
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggelar konferensi pers terkait permasalahan hukum yang terjadi pada korban aplikasi peminjaman online. Liputan6.com/Bawono Yadika

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi pada korban aplikasi peminjaman online.

Usai pos pengaduan korban pinjaman online ditutup pada 25 November 2018, LBH Jakarta menerima 1.330 pengaduan dari 25 provinsi di Indonesia.

"Jika pemerintah dan OJK tidak segera menyelesaikan masalah ini maka akan semakin banyak orang yang menjadi korban," ujar Pengacara Publik di Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (09/12/2018).

Jeanny menjelaskan, baik ilegal atau tidak, laporan pengaduan korban pinjaman online sebaiknya dapat ditindaklanjuti OJK. Masyarakat dikatakan harus mendapat perlindungan atas pelanggaran hukum yang terjadi itu.

"Ilegal dan legal itu sama saja. Jika alasan OJK menolak pengaduan masyarakat dengan alasan ilegal, ya itu terpatahkan dengan 1.330 pengaduan ini. Kita bisa saja tuntut atau pidanakan OJK. Sangat mungkin. Instrumen hukumnya juga tersedia," jelas dia.

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK.

Ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran.

"Aplikasi yang dilaporkan ke kami 71,29 persen memang bukan aplikasi terdaftar di OJK. Tapi ada 28,08 persen yang terdaftar di OJK. Totalnya ada 89 aplikasi. Jadi 28 persen dari 89 itu ada 25 aplikasi terdaftar di OJK," ujarnya.

Jeanny pun mendesak pihak kepolisian turut mengusut tuntas tindak pidana yang dilaporkan penyelenggara aplikasi pinjaman online itu.

"Karena ini semua merupakan bentuk praktik buruk yang dilakukan hanya untuk menarik keuntungan dan memiskinkan masyarakat," tandasnya.


YLKI Terima 200 Aduan Terkait Fintech

Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan,  pihaknya telah menerima lebih dari 200 aduan konsumen terkait layanan Financial Technology alias Fintech hingga saat ini. 

"Ada 200-an terakhir ini. Ya bulan lalu seratusan, ini dua ratusan lebih. Kalau di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) mereka mengatakan ada 700-an, (pengaduan)," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, saat ditemui di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Jumat (16/11/2018).

Tulus menuturkan, pengaduan tersebut berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Aduan yang disampaikan masyarakat sebagian besar terkait tingginya suku bunga fintech.

"Semuanya mengaku dua hal, konsumen mengaku diteror karena oleh pengelola fintech kedua bunganya terlalu tinggi. Ini yang menjadi sorotan saya adalah bunga yang terlalu tinggi," ujar dia.

Selain itu, aduan lain yang masuk adalah terkait cara-cara penagihan fintech tertentu yang tidak etis. Salah satu bentuknya berupa mengobral data-data pribadi konsumen. 

"Ada itikad tidak baik juga dari pihak fintechnya, karena pengaduan yang saya terima mereka bisa menyadap data termasuk foto. Ada pengaduan konsumen dia punya foto pribadi, cewek berbaju minim, itu disebar ke mitranya sebagai bentuk tekanan psikologis ini agar dia mengembalikan (pinjaman)," urai Tulus.

Dia mengatakan, terjadi pelanggaran yang merugikan konsumen disebabkan masih rendahnya pemahaman konsumen tentang fintech.  Hal inilah yang menyebabkan konsumen tidak memperhatikan syarat dan ketentuan ketika mengakses pinjaman dari fintech.

"Literasi konsumen terkait digital itu masih rendah sehingga ketidakpahaman literasi konsumen tidak memahami persoalan-persoalan teknis di dalam masalah itu. Ini harusnya masyarakat lebih cerdas karena berinteraksi dengan digital dan finansial," kata dia.

"Rata-rata hanya tahu di mengeklik nextnext, dan terjebak pada aturan itu. Padahal dia harusnya membaca tata aturan berapa persen mengembalikan, berapa persen dendanya. Mestinya dia tahu," ujar dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya