240 Warga Jepang Gugat Pemerintah soal Biaya Upacara Penobatan Kaisar Baru

Lebih dari 200 warga Jepang, menggugat rencana pemerintah soal pembiayaan upacara penobatan kaisar baru tahun depan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 11 Des 2018, 07:28 WIB
Putra Mahkota Kekaisaran Jepang Pangeran Naruhito dan istri, Putri Masako (AP)

Liputan6.com, Tokyo - Lebih dari 200 warga Jepang, termasuk anggota kelompok Kristen dan biarawan Buddha, mengajukan gugatan atas rencana pemerintah untuk membiayai upacara penobatan putra mahkota kekaisaran menjadi kaisar baru tahun depan dengan menggunakan uang para pembayar pajak.

Sekitar 240 orang bergabung dalam gugatan yang diajukan di Pengadilan Distrik Tokyo. Mereka beralasan bahwa pendanaan dengan menggunakan anggaran nasional untuk salah satu mata agenda upacara penobatan--yang masuk dalam ranah keagamaan Shintoisme, telah melanggar peraturan konstitusi tentang agama dan negara, demikian seperti dikutip dari The South China Morning Post, Senin (10/12/2018).

Itu adalah gugatan pertama yang muncul jelang penobatan Putra Mahkota Naruhito menjadi kaisar baru Jepang pada 1 Mei 2019 nanti, menggantikan Kaisar Akihito.

Anggaran untuk upacara tahun depan belum diumumkan, tetapi pemerintah mengatakan akan menyesuaikan dengan dana perkiraan sementara.

Koichi Shin, salah satu penggugat, mengatakan, upacara pada tahun 1990--ketika Akihito naik takhta--menelan biaya sekitar 12,3 miliar yen pada saat itu (sekitar US$ 108 juta dengan kurs saat ini).

Gugatan itu muncul setelah Pangeran Akishino, putra Kaisar Akihito yang lebih muda, mengutarakan kritik publik yang langka terhadap langkah pendanaan pemerintah atas ritual keagamaan yang berkaitan dengan penobatan putra mahkota.

Berbicara pada konferensi pers akhir bulan lalu, Pangeran Akishino mengatakan ritual "Daijosai" yang akan berlangsung pada November tahun depan "memiliki sifat yang sangat religius". Maka, Pangeran Akishino bertanya-tanya apakah pantas hal keagamaan seperti itu dibiayai dengan dana negara.

"Saya ingin tahu apakah tepat untuk membiayai hal yang sangat religius ini dengan dana negara," katanya.

Para penggugat berusaha untuk menangguhkan pengeluaran dana negara untuk ritual termasuk Daijosai--sebuah doa untuk panen yang melimpah dan untuk perdamaian, serta satu paket dengan penobatan kaisar baru--kata Koichi Shin.

"Ini adalah upacara keagamaan yang didasarkan pada Shintoisme kekaisaran, bentuk ritual keagamaan Jepang kuno yang sangat ritualistik," kata Shin.

Seorang pengacara yang mewakili penggugat, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan meskipun logika utama dalam gugatan itu adalah pemisahan agama dan negara, "ini juga merupakan kesempatan untuk mempertanyakan hubungan antara kaisar dan orang Jepang."

Para penggugat juga mencari ganti rugi 10.000 yen (berkisar US$ 90) masing-masing untuk tekanan emosional atas masalah ini, katanya.

 

Simak video pilihan berikut:


Gugatan Serupa Era Kaisar Akihito

Putra Mahkota Jepang Akihito berpose mengenakan pakaian tradisional selama upacara hari pernikahannya dengan Michiko Shoda di Istana Kerajaan di Tokyo, pada 10 April 1959. (AFP Photo/Intercontinentale)

Gugatan serupa pernah diajukan terhadap pemerintah ketika Akihito dinobatkan menjadi kaisar usai kematian ayahnya Kaisar Hirohito pada 1989.

Semua gugatan pada waktu itu tidak diproses, tetapi satu pengadilan tinggi mengatakan tidak dapat menyangkal kecurigaan bahwa beberapa upacara melanggar prinsip pemisahan agama dan negara.

"Pada penobatan terakhir, sekitar 1.700 penggugat mengajukan tuntutan hukum, dan ada dukungan publik tertentu," kata Koichi Shin.

Setelah penobatan bulan Mei 2019, pemerintah juga berencana mengadakan dua upacara besar, satu pada Oktober 2019 dan yang lainnya pada November 2019, mengikuti contoh 30 tahun yang lalu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya