Qatar Tuduh Israel Sengaja Tunda Pembahasan Bandara di Jalur Gaza

Israel dituduh oleh Qatar sengaja menunda pembahasan tentang pembangunan bandara di Jalur Gaza.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 12 Des 2018, 08:00 WIB
Warga Palestina bergaya seperti karakter dari film "Avatar" mengibarkan bendera selama protes menuntut hak untuk kembali ke kampung halaman mereka di perbatasan Israel-Gaza, Timur Khan Yunis di Gaza selatan Strip, (4/5). (AFP Photo/Said Khatib)

Liputan6.com, Doha - Seorang utusan Qatar yang mengawasi bantuan kemanusiaan negara Teluk untuk Jalur Gaza, mengatakan pada Senin 10 Desember, bahwa ia telah mengusulkan membangun sebuah bandara di daerah kantong Palestina yang diblokir, tetapi tidak menerima tanggapan dari Israel.

Dalam koordinasi dengan Israel dan PBB, Qatar menyumbangkan ratusan juta dolar AS untuk berbagai proyek di Gaza, yang dikatakan oleh para mitranya, dirancang untuk mencegah kemiskinan dan eskalasi kekerasan di Palestina.

"Mereka (Israel) berkata akan segera membahasnya, tapi ternyata mereka menunda ... Kami akan memperbarui permintaan tersebut," kata Duta Besar Qatar Mohammed al-Emadi kepada kantor berita SAWA --yang bermarkas di Gaza-- sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Selasa (11/12/2018).

"Pihak Israel punya masalah keamanan. Kami dapat menyelesaikannya dengan membuat jalur terbang ke Doha dan kembali ke Gaza. Dari sana, semuanya berada di bawah pengawasan Qatar," lanjutnya menjelaskan.

Israel belum menanggapi, kata al-Emadi, tetapi mengusulkan agar bandara tersebut dibangun di sisi perbatasan, sebuah ide yang menurut para diplomat Tel Aviv, ditolak oleh Qatar.

Cogat, lembaga pemerintah Israel yang berkoordinasi dengan Qatar dalam upaya bantuan ke Jalur Gaza, menolak berkomentar mengenai pernyataan al-Emadi.

Pada 1998, Palestina mendapatkan bandara internasional pertama mereka sebagai hasil perjanjian damai bersejarah dengan Israel.

Tetapi, setahun setelahnya, Israel justru menghancurkan antena radar dan landasan pacu untuk memukul balik pemberontakan kedua Palestina, yang dikenal sebagai Intifadah Al-Aqsa, dan dimulai pada September 2001.

Israel menarik para pemukim dan tentaranya dari Jalur Gaza pada 2005, tetapi negara itu mempertahankan kontrol ketat atas perbatasan darat, udara, dan lautnya. Hal serupa diikuti oleh Mesir, yang mengontrol akses dari selatan.

Pembatasan itu, menurut Israel, bertujuan salah satunya untuk menghentikan aliran senjata ke Jalur Gaza dan mengisolasi Hamas, yang telah mengendalikan dua juta penduduk di sana sejak 2007.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


PBB Tolak Usulan AS untuk Kecam Hamas

Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AP)

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Majelis Umum PBB menolak resolusi yang disponsori Amerika Serikat (AS) untuk berusaha mengecam Hamas, kelompok Palestina pengelola Jalur Gaza yang terisolir.

Resolusi, yang didukung kuat oleh Israel, membutuhkan dua pertiga suara mayoritas, namun gagal melewati ambang suara pada pekan lalu. Sebanyak 87 negara menyatakan setuju dan 57 lainnya menentang. Tiga puluh tiga negara abstain.

Voting sebelumnya untuk mensyaratkan mayoritas dua pertiga, di mana mengikuti langkah prosedural yang diminta oleh Kuwait, jauh lebih dekat: 75-72, dengan 26 abstain.

Resolusi yang gagal itu merupakan tugas akhir Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, yang segera meninggalkan kursinya pada akhir tahun.

Haley, seorang pembela Israel yang gigih, telah menulis surat kepada negara-negara anggota pada Senin 3 Desember, untuk mendesak mereka mendukung kutukan terhadap Hamas, sekaligus memperingatkan: "Amerika Serikat mengambil hasil dari suara ini dengan sangat serius."

"Sebelum Majelis Umum dapat secara kredibel mendukung kompromi dan rekonsiliasi antara Palestina dan Israel, itu harus dicatat, tidak ambigu dan tanpa syarat, mengutuk terorisme Hamas," kata Haley di hadapan Majelis Umum PBB.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya