Kebijakan Bea Cukai Ini Dongkrak Pendapatan Pengusaha Ritel

Hippindo apresiasi upaya Ditjen Bea Cukai memberantas praktik splitting dalam impor barang kiriman lewat e-commerce

oleh Merdeka.com diperbarui 11 Des 2018, 20:50 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Kenaikan impor dari 14,46 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 16,09 miliar dolar AS (month-to-month). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengapresiasi, upaya Ditjen Bea Cukai memberantas praktik splitting dalam impor barang kiriman lewat e-commerce. Penerapan anti-splitting berjalan sejak Oktober 2018.

Dia mengakui, kebijakan anti-splitting berdampak pada kenaikan pendapatan pelaku industri ritel, khususnya peritel offline. Meskipun demikian, dia tidak menyampaikan secara rinci nilai kenaikan pendapatan yang diperoleh pihaknya.

"Anti-splitting ini membantu peritel yang waktu itu dengan ditindaknya (spliting), omzetnya offline naik 3 persen," kata dia, di Jakarta, Selasa (11/12/2018).

"Data penjualan kami ritel offline dari bulan Oktober ada peningkatan, di anggota Hippindo, pabrik garmen dan bahan baku tekstil mulai bergerak," tambah dia.

Dia pun mendorong agar upaya penegakan hukum dalam kegiatan usaha perlu harus ditingkatkan demi menciptakan iklim usaha yang kondusif. Selain itu untuk menciptakan level playing field yang sama antara usaha online dan offline.

"Kami menekankan kami tidak anti online banyak yang sudah berubah ke online juga. Tapi kami karena memiliki suatu tata tertib berusaha yang benar, kami memenuhi semua persyaratan yang diminta pemerintah," ungkapnya.

Dia pun mengharapkan penegakan hukum dapat lebih ditingkatkan dan diperluas cakupannya. "Anti splitting ini bisa ditingkatkan tapi tidak hanya pajak, tata tertib niaga, dan perlindungan konsumen dari pengawasan barang beredar," imbuhnya.

"Kami sudah lakukan, terhadap semua anggota. Sangat diharapkan tetap kontinyu sehingga seluruh kepentingan dalam negeri dilindungi oleh Bea Cukai," tandas dia.

Praktik splitting merupakan memecah transaksi impor untuk hindari bea masuk maupun pajak impor. Oleh karena itu, pemerintah melalui Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan mengubah kebijakan impor barang kiriman melalui e-commerce.

Salah satunya menurunkan batas nilai barang impor yang dibebaskan bea masuknya dari sebelumnya USD 100 menjadi USD 75 per orang dalam satu hari transaksi.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 


RI Kantongi Penerimaan Perpajakan Rp 1.301 Triliun hingga November

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, hingga 30 November 2018 penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.301,4 triliun. Angka ini tumbuh 15,3 persen dibandingkan periode yang sama di 2017 yang hanya sebesar 3,2 persen.

"Secara total penerimaan (pajak) kita tumbuhnya 15,3 persen untuk perpajakan. Atau kita sudah mengumpulkan Rp 1.301 triliun atau 80 persen dari total penerimaan yang dianggarkan (asumsi di APBN)," ujar dia di Nusa Dua, Bali, Kamis 6 Desember 2018.

Dia menjelaskan, untuk PPh migas, realisasi hingga 30 November 2018 sebesar Rp 59,8 triliun atau tumbuh 26,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini didorong oleh kenaikan harga minyak dunia.

"Penerimaan perpajakan kita penerimaannya cukup menggembirakan. Dengan harga minyak yang bagus dan dengan kurs tentunya, penerimaan untuk pph migas bahkan pertumbuhannya mencapai 26,7 persen atau kita telah menerima 156 persen dari yang dianggarkan. Dari Rp 38 triliun (di target di APBN), kita sudah mengumpulkan hampir Rp 60 triliun sekarang," jelas dia.

Untuk kategori pajak nonmigas, lanjut dia, hingga 30 November 2018 telah mencapai Rp 1.076,8 triliun atau tumbuh 14,8 persen. Angka ini sebesar 77,7 persen dari target dalam APBN yang sebesar Rp 1.385,9 triliun.

‎"Untuk pajak nonmigas, ini menggambarkan denyut ekonomi kita yang tidak terpengaruh dari migas, itu pun pertumbuhannya tinggi, 14,8 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 5,1 persen. Kalaupun ditambah inflasi, dia juga lebih tinggi. Ini menggambarkan bahwa kita tax rasio kita menjadi lebih tinggi, karena size GDP naik hanya 8 persen, tapi pajak naik mendekati 15 persen. Maka tax rasio kita akan lebih baik," ungkap dia.

Dari pajak nonmigas ini, penerimaan PPh nonmigas mencapai sebesar Rp 591,6 triliun atau naik 15 persen, pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 459,9 triliun atau naik 14,1 persen, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 18,7 triliun atau naik 28 persen dan pajak lainnya sebesar Rp 6,6 triliun atau naik 7,9 persen.

"PPh nonmigas tumbuhnya 15 persen dan PPN masih tumbuh di 14,1 persen. Mungkin kalau PBB tidak terlalu karena volatile pertumbuhannya. Yang paling penting PPh nonmigas dan PPN yang menggambarkan kegiatan ekonomi nasional kita," kata dia.

Sedangkan dari sisi Bea dan Cukai, lanjut Sri Mulyani, juga menunjukkan pertumbuhan yang positif. Secara total, penerimaan dari kepabeanan dan cukai hingga 30 November 2018 sebesar Rp 164,8 triliun atau naik 14,7 persen.

Secara rincin, untuk cukai sebesar Rp 123,3 triliun atau tumbuh 13,2 persen, bea masuk sebesar Rp 35,4 triliun atau tumbuh 13,1 persen dan bea keluar Rp 6,2 triliun atau tumbuh 76,2 persen.

"Kepabeanan dan cukai juga sangat positif. Keseluruhan penerimaan 14,7 persen pertumbuhannya. Cukai tumbuh 13,2 persen, bea masuk 13,1 persen, bea keluar ini karena harga komoditas meningkat menyebabkan bea keluar meloncat ke 76 persen, dan kita sudah mengumpulkan dua kali lipat lebih dari yang dianggarkan. Tapi karena basisnya kecil sehingga tidak terlalu mempengaruhi. Tetapi bagi kinerja bea cukai ini sangat cukup positif," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya