Liputan6.com, Manila - Komisi Hak Asasi Manusia (CHR) mengatakan bahwa perang Rodrigo Duterte terhadap narkoba akan mengarah ke "ladang pembantaian", jika presiden Filipina dibiarkan untuk melanjutkan tindakan kerasnya.
Para pejabat Filipina mengatakan bahwa angka kematian dalam perang narkoba tersebut telah mendekati 5.000 sejak Duterte dilantik sebagai presiden pada 2016.
Namun, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Rabu (12/12/2018), banyak kelompok pemerhati hak asasi manusia dan politikus oposisi mengatakan, lebih dari 20.000 orang telah dibunuh oleh polisi Filipina terkait perang terhadap narkoba.
Baca Juga
Advertisement
"Kami mempertanyakan kerangka perang terhadap narkoba dan maksud di baliknya," kritik Gwendolyn Pimentel-Gana, komisaris CHR.
"Anda tidak bisa membunuh semua orang. Satu nyawa melayang saja sudah terlalu banyak. Jika terus begitu, Filipina akan menjadi ladang pembantaian. Ketika presiden berkuasa, dia mengatakan tindakan keras ini akan berakhir dalam enam bulan. Kemudian, dia mengatakan akan terus berlanjut selama masa jabatannya," lanjutnya resah.
Salah satu provinsi yang paling terkena dampak perang tersebut adalah Cebu, di mana penduduk tetap khawatir karena pembunuhan terkait narkoba berlanjut, dan polisi mengatakan mereka akan gigih dalam berusaha mencapai misi presiden.
"Polisi harus melawan. Akan ada kerusakan tambahan dan bahkan orang yang tidak bersalah akan menjadi korban," kata Royina Garma, direktur polisi kota Cebu.
CHR menuntut pihak berwenang melakukan "proses hukum" ketika berurusan dengan tersangka, bukan menembak mati mereka.
"Para tersangka harus ditangkap dan ditindak melalui proses hukum, bukan dibunuh," kata Pimentel-Gana.
"Itu sebabnya perlu ada perubahan paradigma pada bagian pemerintah dan perlu mengubah perspektifnya tentang perang terhadap narkoba ini.
Simak video pilihan beirkut:
Duterte Tetap Bergeming
Awal tahun ini, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) meluncurkan penyelidikan terhadap perang narkoba yang digaungkan oleh Duterte.
Tidak lama setelahnya, Duterte mengumumkan penarikan negaranya dari pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, dan mengatakan bahwa ICC "tidak memiliki yurisdiksi atau akan mendapatkan yurisdiksi" untuk melakukan penyelidikan.
Meski begitu, pada bulan Agustus, aktivis dan keluarga dari delapan korban mengajukan keluhan kepada ICC, menyerukan dakwan kepada pemerintahan Duterte atas ribuan pembunuhan di luar hukum.
CHR, sementara itu, bersumpah untuk tetap "berbicara dan mendorong" peran perlindungan HAM Filipina di negara mereka sendiri.
"Kami berjuang untuk hak asasi manusia, dan setiap orang Filipina harus menyadari bahwa dia memiliki hak asasi dan martabat hidup. Kita perlu mendidik orang dan mengadvokasi penyebabnya," kata Pimentel-Gana.
Advertisement