Liputan6.com, Jakarta Menteri Pariwisata, Arief Yahya, banyak mendulang kesuksesan selama kariernya. Deretan penghargaan pun sering menghampirinya. Penghargaan yang terbaru ia raih adalah The Best Marketing Minister of Tourism of ASEAN dalam Anugerah MarkPlus Marketeer of The Year (MoTY) 2018.
Kesukesan tersebut tak terlepas dari keseriusannya dalam mengemban tugas. Sebagai orang yang dipercaya Presiden untuk memajukan sektor pariwisata di Indonesia, ia paham betul bagaimana harus menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Bahkan, ia berhasil membawa pariwisata sebagai core economy bangsa.
Advertisement
Walaupun begitu, Arief mengaku ada satu sosok yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kariernya. Hal ini ia ungkapkan dalam kunjungan kerjanya di Manado, Selasa (11/12/2018).
Sosok tersebut adalah ibundanya. Ia mengaku sangat mencintai dan memuliakan ibunya. Bagi Arief, ibu adalah segala-galanya.
“Inilah rahasia saya. Rasa cinta pada ibu sangatlah personal. Saya meyakini, ketika sesuatu itu sangat personal, maka ia akan sangat general. The most personal, the most general,” ujarnya.
Bagi Arief, ibu adalah inspirasi terbesar dalam hidupya. Orang yang paling berjasa, yang berjuang untuk anak-anaknya tanpa pamrih. Kasih ibu mengalir begitu deras, laiknya air terjun, tanpa mengenal henti.
“Tak ada peristiwa besar dalam hidup saya tanpa restu ibu. Mau sekolah, mau ujian masuk perguruan tinggi, mau tes masuk ke perusahaan, mau kerja, saya selalu minta doa dan restu ke ibu. Itu sebabnya begitu ibu meninggal, saya kehilangan pegangan. Karena sudah tak ada lagi yang mendoakan,” ucapnya.
Arief mengakui, ada banyak permasalahan yang bisa ia lalui dengan mudah. Arief pun meyakini bahwa itu semua tak lepas dari doa ibu. Menurutnya, sang ibu sering kali, bahkan mungkin sepanjang hidupnya, selalu salat malam atau salat Dhuha untuk mendoakan anaknya.
“Saya percaya, ridho Illahi adalah ridho Ibu. Murka Illahi adalah murka Ibu. Itu dijamin oleh Tuhan,” kata dia.
Arief kembali mengenang masa kecilnya. Setiap kali sang ibu datang ke perkawinan, makanannya tidak pernah ia santap. Ia bungkus makanan tersebut dan dibawa pulang untuk anak-anaknya.
"Dulu, telur dan paha ayam adalah barang mewah. Hanya sesekali kami menikmatinya. Kalau ibu memasak telur, maka telur itu dipotong sama rata untuk anak-anaknya. Kalau memasak ayam, maka ayam itu disuwir-suwir rata untuk seluruh anak-anaknya,” ujar Arief.
Setiap pulang kampung ke Banyuwangi, dirinya selalu menyempatkan diri ziarah ke makam ibu. Ia melakukannya setiap hari, selama ia berada di kampung halaman.
“Setiap kali menyentuh kuburan ibu, saya merasakan kedekatan dengannya. Mungkin di situ saya curhat ke ibu, ingin menceritakan kebahagiaan, kegalauan, berdoa, berdialog tanpa kata-kata. Bisa sejam saya duduk bersimpuh di makam ibu,” ucap Arief.
Dalam bukunya Great Spirit, Grand Strategy (2013), ia pun secara khusus menulis mengenai ‘spirit of Ihsan’. Di situ ia ilustrasikan karakter Ihsan dengan sifat-sifat mulia dari seorang ibu.
Arief menganggap, ibu adalah malaikat yang selalu menggunakan sifat Tuhan untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Itu pula yang menginspirasi dirinya untuk berpikir mega. Berpikir tanpa pamrih, tanpa harap, semua penuh kasih dan sarat cinta. Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima.
Menurutnya, manusia adalah mahluk rohani yang akan menjalani kehidupan berikutnya di akhirat. Bagaimana cara berinvestasi untuk kehidupan di akhirat, antara lain dengan membelanjakan uang di jalan Tuhan. Contohnya zakat, infak, dan sodaqoh.
“Saya bukan ahli agama. Tapi saya berpendapat membahagiakan ibu itu nomor satu. Itu adalah kewajiban utama seorang anak. Bahkan, menurut saya, kita tak boleh berzakat sebelum setor ke ibu,” kata Arief.
Karena itu, ketika menerima gaji pertama sebagai karyawan, dengan sukacita ia memberikan semuanya ke ibu. Arief masih ingat, saat itu ibu menangis bahagia.
“Gaji saya seamplop-amplopnya dibawa ke kamar untuk ditunjukkan ke bapak,” ujarnya.
Sekali lagi, imbuh Arief, ibu adalah segala-galanya. Karena itu ia berprinsip kalau mau menjadi orang bahagia, maka bahagiakanlah ibu. Kalau mau menjadi orang hebat, maka hebatkanlah ibu.
“Jadi kalau saya dianggap sebagai orang sukses, maka saya lebih senang dan bangga jika dikenang sebagai orang yang sukses membahagiakan ibu,” pungkasnya.
(*)