Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berpeluang besar untuk memperoleh keuntungan dari trade war atau perang dagang yang saat ini tengah terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan China atau Tiongkok. Potensi keuntungan terbesar ada di 3 sektor yaitu IT, otomotif, dan garmen.
Chief Economist and Invesment Strategies PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan, menyebutkan bahwa isu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan mitra-mitra masih akan mewarnai perjalanan 2019. Namun pasar finansial global telah memperhitungkan dampak terburuk dari perang dagang terhadap ekspektasi pertumbuhan ekonomi dan laba korporasi.
"Satu hal yang menarik, perang dagang membuat kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, berpeluang menjadi pihak yang diuntungkan, karena korporasi global yang tadinya berpusat di China bisa saja mendiversifikasikan bisnisnya ke luar China. Sektor-sektor berpotensi diantaranya adalah IT, otomotif, dan garmen,” Kata dia dalam sebuah acara diskusi di kantornya, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia menegaskan Indonesia berpeluang untuk mendapatkan keuntungan dari perang dagang ini sebab upah pekerja di RI terbilang murah dibanding negara lain. Pasalnya, saat ini banyak perusahaan yang ingin keluar dari negeri tirai bambu tersebut.
"Sebagian perusahaan-perusahaan global akan mengalihkan tempat produksinya dari China ke negara-negara lain," dia menambahkan.
Murahnya upah tersebut disinyalir dapat menjadi daya tarik dan akan membuat banyak pihak produsen mengalihkan tempat produksinya ke Indonesia.
Namun demikian tidak berarti hanya upah murah saja yang harus menjadi daya tarik Indonesia dimata para pengusaha tersebut. Sektor lain pun harus tumbuh meyakinkan agar dapat menambah daya pikat RI di mata dunia.
"Yang harus dilakukan adalah oke upah kita murah, tapi kita juga harus membuat negara kita lebih menarik di berbagai hal, antara lain adalah logistik misalnya." ujarnya.
Selain itu, kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) harus lebih ditingkatkan. "EoDB kita memang sudah meningkat peringkatnya jadi lumayan, cuma masih banyak PR nya. kalau PR PR itu dikerjakan dan diselesaikan maka Indonesia berpeluang sangat besar untuk mendapat keuntungan dari perang dagang ini," tutupnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Demi Redam Perang Dagang, Trump Bakal Intervensi Kasus Bos Huawei
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan akan intervensi kasus penangkapan putri pendiri Huawei Meng Wanzhou. Hal ini dilakukan untuk capai kesepakatan perang dagang dengan China.
"Saya pikir baik jika itu pasti mencapai kesepakatan perdagangan yang merupakan hal penting. Selain itu baik untuk keamanan negara, saya akan intervensi, saya pikir itu penting," ujar Donald Trump dalam wawancara dengan Reuters, seperti dikutip dari laman Bloomberg, Rabu (12/12/2018).
Trump menuturkan, pihaknya sedang berkomunikasi dengan Departemen Kehakiman terkait kasus penangkapan tersebut bersama dengan para pejabat China.
BACA JUGA
Saat ditanya apakah dirinya telah berbicara dengan Presiden China Xi Jinping mengenai masalah tersebut, Trump menuturkan, pihak China belum memanggil dirinya. "Mereka berbicara dengan orang-orang saya. Tapi mereka belum memanggil saya," kata dia.
Adapun penangkapan Meng akan mengancam hubungan AS-China. Bahkan ketika kedua presiden negara tersebut berusaha untuk negosiasi soal perdagangan yang akan kurangi serangkaian tarif yang telah dilaksanakan pada 2018.
Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng memanggil Duta Besar AS untuk China Terry Branstad lantaran keberatan dengan penangkapan tersebut dan menuduh AS melanggar hak dan kepetingan warga negara China.
Sementara itu, Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer menuturkan, kalau penangkapan itu hanya masalah pidana dan tidak terkait negosiasi perdagangan.
Hal itu ditekankan oleh Kepala Dewan Ekonomi Nasional Larry Kudlow. "Kasus Huawei dan negosiasi perdagangan hal berbeda,” ujar dia.
Meng ditangkap pada awal Desember atas permintaan otoritas Amerika Serikat (AS). Hal ini lantaran ada tuduhan persengkokolan untuk menipu bank agar tidak sengaja melanggar sanksi AS dengan hapus transaksi yang terkait Iran. Pada Selasa,Meng Wanzhou diberikan jaminan USD 7,5 juta atau sekitar Rp 109,58 miliar (asumsi kurs Rp 14.611 per dolar AS) oleh pengadilan Kanada.
Advertisement