Liputan6.com, Jakarta - Bepergian atau liburan ke luar negeri di saat musim dingin tiba agaknya tidak menjadi pilihan bagi kebanyakan traveler. Selain bakal membuat waktu terbuang percuma karena lebih banyak dihabiskan di kamar hotel, terbayang pula kerepotan harus membawa pakaian ekstra dari biasanya. Belum lagi komunikasi yang bakal terganggu karena faktor cuaca.
Dengan semua bayangan itulah Rabu pekan lalu Liputan6.com berangkat ke Shanghai, China, bersama sejumlah jurnalis lainnya. Pada malam keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta, kami mendapat kabar bahwa China sudah memasuki awal musim dingin. Suhu di Shanghai pada malam itu 8 derajat Celsius.
Advertisement
Tak terbayangkan betapa dinginnya, karena suhu 16 derajat Celsius dari pendingin ruangan di kantor saja sudah membuat tubuh menggigil. Namun, tak ada langkah mundur. Pesawat dengan nomor penerbangan GA 894 sudah menunggu kami untuk segera berangkat.
Setelah menempuh penerbangan selama enam jam sepanjang malam, pada Kamis pagi pesawat Garuda Indonesia yang membawa kami tiba di Bandara Pudong, Shanghai. Benar saja, ketika melangkah di pintu keluar bandara, tubuh kami langsung disergap hawa dingin yang menembus lapisan kulit. Tak ada hujan, hanya udara yang menusuk tulang.
Namun begitu, tak ada perubahan rencana. Sesuai arahan pemandu perjalanan kami, Miss Ling, suhu enam derajat Celcius pagi itu mau tak mau mengharuskan kami untuk mengenakan pakaian yang agak tebal. Selebihnya, agenda untuk mengelilingi kawasan pencakar langit Kota Shanghai tak ada halangan.
Destinasi pertama kami adalah gedung Oriental Pearl TV Tower, bangunan paling terkenal di Kota Shanghai. Hujan gerimis menyambut kami di pelataran gedung. Kendati demikian, kamera dan telepon genggam anggota rombongan tak berhenti bekerja mengabadikan suasana Kota Shanghai dari pelataran Oriental Pearl TV Tower.
Apalagi, persis di depan gedung ini, berdiri tegak Shanghai Tower, bangunan tertinggi di seluruh China dan tertinggi kedua di dunia setelah Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab. Saking tingginya, puncak Shanghai Tower tak terlihat dari tempat kami berdiri lantaran tertutup kabut.
Decak kagum terhenti ketika Miss Ling memberitahukan kalau kami sudah mendapatkan tiket dan harus segera antre untuk menaiki Oriental Pearl TV Tower. Ya, meski sudah memasuki awal musim dingin, antrean wisatawan baik lokal maupun mancanegara tetap mengular di menara televisi tertinggi keempat di dunia ini.
Antrean panjang itu terbayar ketika kami tiba di titik Bola Kedua atau 2nd Ball pada ketinggian 263 meter. Dari tempat ini, panorama Kota Shanghai bisa terlihat dari sudut manapun. Kota yang besar dengan banyak gedung pencakar langit serta dikelilingi banyak aliran sungai besar.
Sayang, kami tak bisa berlama-lama di ruangan yang punya lantai kaca dan tembus pandang ini. Suhu yang terus menurun membuat kami harus segera menuju destinasi selanjutnya agar tidak terjebak dalam cuaca yang ekstrim. Siang itu, dalam suhu 4 derajat Celsius, rombongan para jurnalis ini berjalan kaki menuju Nanjing Road.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Melihat Shanghai dari Seberang
Kawasan perbelanjaan Nanjing Road terbentang sepanjang lebih dari 5 kilometer di tengah Kota Shanghai. Kawasan tersebut terasa lebih nyaman untuk berjalan-jalan karena memang didesain khusus bagi pejalan kaki dengan trotoar yang lebar dan kondisinya sangat bersih.
Meski di tengah gerimis dan memegang payung, rombongan yang difasilitasi JavaMifi, penyedia layanan travel wifi tanpa roaming dari Indonesia, tak canggung mengabadikan momen di tengah suhu ekstrem itu melalui jepretan foto atau video.
Namun, dari semua panorama yang ada di Kota Shanghai, tak ada yang bisa mengalahkan The Bund. Sejatinya, The Bund adalah dermaga di sepanjang Sungai Huangpu. Hanya dengan berjalan-jalan di sisi dermaga ini, kita bisa menikmati indahnya Sungai Huangpu beserta deretan bangunan tinggi di seberang sungai.
Demi menyaksikan semua itu, kami pun rela berjalan kaki sekitar 15 menit dari Nanjing Road, di tengah suhu yang makin dingin disertai angin kencang. Trotoar yang lebar dan bersih membuat perjalanan tetap terasa menyenangkan, meski sarung tangan dan jaket tebal tak mampu menahan hawa yang dingin.
Ketika kami tiba di dermaga itu, jelaslah bahwa The Bund merupakan spot terbaik untuk melihat kemegahan Kota Shanghai dengan jelas. Berdiri di sini seolah kita sedang menatap layar yang menampilkan lanskap sebuah kota modern dengan deretan gedung menjulang, diapit kiri dan kanan oleh Oriental Pearl TV Tower dan Shanghai Tower.
Bahkan, tanpa cahaya matahari dan hanya ditemani hujan gerimis, The Bund tetap bersinar untuk diabadikan. Tak hanya dalam bentuk foto dan video, sebagian dari kami terlihat sibuk berbicara sembari mengarahkan kamera smartphone 360 derajat.
Ternyata, menggunakan aplikasi video call di tengah cuaca ekstrem seperti musim dingin di Shanghai tidaklah mustahil. Komunikasi dengan kerabat di Tanah Air tak terputus dan tetap lancar tanpa harus menggunakan VPN (Virtual Private Network) atau sim card yang berlaku di China.
Petang menjelang dan Miss Ling mengingatkan rombongan untuk segera check in ke hotel, karena makin malam suhu akan makin dingin, sehingga lebih baik beristirahat daripada berada di luar ruangan. Apalagi besok kami akan melanjutkan perjalanan menuju Kota Suzhou dan Hangzhou.
Laporan cuaca menyebutkan, suhu di kedua kota yang akan dikunjungi itu besok akan berkisar antara 4 hingga 0 derajat Celsius. Itu artinya ada kemungkinan dalam perjalanan kami akan merasakan salju pertama yang turun di China pada musim dingin tahun ini.
Banyak perasaan berkecamuk menjelang tidur, antara memikirkan pakaian yang layak untuk menahan dingin esok hari dan antusiasme ingin merasakan hujan salju di negeri orang.
Advertisement