Liputan6.com, Jakarta - Jumat pagi, kami keluar dari hotel dengan pakaian yang lebih tebal dari sebelumnya, plus menenteng payung yang kemarin dibeli terpaksa saat hujan mengguyur kawasan Nanjing Road. Di atas minibus yang membawa rombongan, Miss Ling kembali mengingatkan akan adanya potensi turunnya salju hari ini.
Entah kebetulan atau tidak, meski kerap bepergian ke luar negeri, belum ada satupun di antara anggota rombongan Media Trip JavaMifi ini yang pernah merasakan hujan salju. Dan jika prakiraan cuaca hari ini tak meleset, akan menjadi kali pertama bagi kami merasakan langsung hujan salju jauh dari kampung halaman.
Advertisement
Yang jelas, perjalanan sejauh 83 kilometer dari Shanghai menuju Suzhou cukup menyenangkan. Suzhou adalah kota besar yang terletak di sebelah tenggara Provinsi Jiangsu, China Timur. Kota ini terletak di hilir Sungai Yangtze dan di tepi Danau Taihu yang merupakan bagian dari wilayah Delta Sungai Yangtze.
Kota yang dibangun pada 514 SM ini memiliki lebih dari 2.500 tahun sejarah yang kaya dan peninggalan dari masa lalu yang melimpah sampai hari ini. Sejak Dinasti Song (960-1279) berkuasa, Suzhou juga telah menjadi tempat penting bagi industri sutra Cina.
Sejak ditemukan dan digunakan pertama kali di bawah Kekaisaran Huang Ti sekitar 2697-2597 sebelum Masehi, China diketahui sebagai penghasil kain sutra terkenal di seluruh dunia. Banyak pedagang datang ke China untuk berdagang kain sutra. Jalur perdagangan tersebut kemudian dikenal sebagai Silk Road atau Jalur Sutra.
Karena itu, destinasi pertama kami di Suzhou adalah ke pabrik sutra nomor 1 di kota itu, Choyer Factory. Pabrik yang terletak di Nanmen Road Nomor 94 itu merupakan pabrik sutra milik pemerintah China. Tak heran harganya dianggap paling murah, tanpa diskon, tak boleh ditawar karena harganya pas dan dijamin asli.
Selama berada di Choyer Factory, kami mendapat ilmu tentang bagaimana proses pembuatan sutra sejak dari ulat hingga menjadi kain yang halus dan bernilai tinggi.
Proses itu dimulai saat kami memasuki ruangan tempat ulat sutra diternakkan. Ulat sutra diletakkan di atas daun murbai yang tak tak lain adalah makanannya. Kita bisa menyaksikan langsung bagaimana ulat ini dengan rakus menyantap daun murbai.
Setelah kenyang, ulat sutra akan mulai membentuk kepompong sutra yang merupakan bahan dasar dari kain sutra. Kepompong inilah nantinya yang akan diurai menjadi benang-benang halus dan dipisahkan dengan hati-hati menggunakan mesin yang khusus.
Menurut keterangan staf Choyer Factory yang diterjemahkan Miss Ling, dibutuhkan 5.500 ulat sutra untuk bisa menghasilkan 1 kilogram sutra. Selain itu, satu kepompong bila helai benangnya dibentangkan, bisa mencapai panjang lebih kurang 1 kilometer.
Dikarenakan proses pembuatan yang begitu rumit dan hati-hati, wajar kalau harga sutra cukup mahal jika dirupiahkan. Lihat saja, sebuah selimut sutra yang dikenal dengan sebutan Selimut Cinta kualitas paling bawah masih dihargai sekitar Rp 3 juta.
Ketika meninggalkan Choyer Factory, gerimis mulai turun dan payung kami mulai mengembang. Perjalanan selanjutnya adalah menuju Lotus Garden atau Taman Teratai. Suzhou sejak dulu memang dikenal memiliki taman-taman yang indah. Ada lebih dari 200 taman di kota ini, namun hanya 69 di antaranya yang terawat dengan sangat baik, termasuk Taman Teratai.
Taman ini awalnya bernama SheYuan dan dibangun pada masa Dinasti Qing (1723-1795) oleh Lu Jin, Kepala Distrik Baoning. Pada 1974 taman ini dibeli oleh Shen Bingchen, seorang pejabat Susong. Ia kemudian memperluas area taman ini dan setelah pensiun, ia dan istrinya tinggal di tempat ini serta mengubah namanya menjadi the Couple’s Retreat.
Salju Itu Akhirnya Turun
Area taman seluas 800 meter persegi ini dibagi menjadi 2 bagian, barat dan timur dengan bangunan besar di tengahnya serta dikelilingi sebuah kanal pada ketiga sisinya. Pada taman timur terdapat bukit buatan dari batu karang kuning, lengkap dengan paviliun, teras dan menara. Sedangkan di taman sebelah barat dibuat dari batu danau. Saat keluar dari taman, kita bisa naik gondola ala Suzhou untuk menyeberangi kanal.
Saat asyik mendengarkan Miss Ling bercerita dengan lafal Bahasa Indonesia yang fasih, tiba-tiba saja hujan gerimis berganti dengan salju tipis yang menimpa payung kami. Spontan saja sebagian dari kami langsung berteriak kegirangan, tak ubahnya anak kecil yang dapat mainan baru.
Inilah salju pertama yang turun di Suzhou pada musim dingin tahun ini. Bagi kami, turunnya salju adalah sebuah surprise yang memang ditunggu-tunggu. Yang membedakannya adalah cara pengungkapan rasa senang itu.
Ketika sebagian sibuk memotret dan mengabadikan fenomena alam tersebut dalam bentuk video, sebagian lagi menari kegirangan sembari menangkap butiran salju yang turun. Sementara, wisatawan lainnya yang tengah berada di Lotus Garden, melihat tingkah kami dengan tatapan yang aneh.
Salju itu masih tipis dan cuma sebentar menghibur kami, tapi dampaknya sangat terasa. Dalam perjalanan menuju destinasi selanjutnya, yaitu Tiger Hill atau Bukit Harimau, salju menjadi satu-satunya topik yang dibahas. Sebagian dari anggota rombongan terlihat sibuk memposting foto dan video mereka tengah diguyur salju melalui akun media sosial.
Karena kesibukan itu, kami tak menyadari telah tiba di areal parkir Tiger Hill, sebuah bukit yang menyimpan sejarah penting Kota Suzhou. Konon, di bukit inilah Raja Helu dimakamkan bersama 3.000 pedangnya. Demikian pula 1.000 orang yang membangun makam tersebut, harus dibunuh agar rahasia tempat pedang tersebut disimpan tetap terjaga.
Raja Helu yang meninggal pada 600 sebelum Masehi itu dianggap sebagai Bapak Pendiri Kota Suzhou. Seekor harimau putih disebut-sebut sering tampak menjaga makam ini. Dari cerita itulah kawasan ini dinamakan Bukit Harimau.
Di atas bukit juga tampak pagoda yang telah menjadi miring sejak diselesaikan pada 961 Masehi. Kemiringannya saat ini telah mencapai lebih dari dua meter dan batuan beton telah dipasang di fondasi pagoda untuk mencegah kemiringan lebih lanjut. Pagoda Yunyan ini lebih tepat disebut sebagai Menara Pisa dari Suzhou dan sudah ada sebelum Menara Pisa sendiri dibangun.
Sayang, kami tak bisa menikmati keindahan Bukit Harimau. Sejak menginjakkan kaki di parkiran, salju yang lumayan lebat sudah mengguyur. Alih-alih mempercepat langkah menuju Bukit Harimau, kami malah sibuk mencari spot yang bagus untuk berfoto. Bahkan, ajakan bernada perintah dari Miss Ling untuk segera menuju gerbang Bukit Harimau pun tak diindahkan.
Karena kelamaan menikmati salju, saat akan memasuki kawasan Bukit Harimau, pengelola lokasi wisata ini mengumumkan melalui pengeras suara bahwa tempat itu sudah ditutup. Bagi wisatawan yang masih berada di puncak bukit diminta untuk segera turun karena jalan diprediksi akan makin licin karena ditimbun salju.
Kami pun bergegas menaiki kendaraan karena masih harus menempuh perjalanan menuju Kota Hangzhou, tempat kami menginap. Miss Ling mengatakan, jika salju makin tebal, besar kemungkinan jalan tol menuju Hangzhou akan ditutup untuk menghindari kecelakaan. Itu artinya kami akan tertahan di Suzhou.
Syukurlah akhirnya kami tiba di Hangzhou dengan salju masih terlihat dari jendela kamar hotel. Namun, kabar terbaru soal cuaca membuat kami kaget. Suhu di Kota Hangzhou esok hari diprediksi berkisar antara 2 hingga minus 1 derajat Celcius. Tak terbayangkan 'drama' apa lagi yang bakal kami alami esok hari di kampung Jack Ma.
Advertisement