Liputan6.com, Kairo - Organisasi mulitilateral negara-negara Arab, Liga Arab, mengecam langkah Australia yang mengakui Yerusalem barat sebagai ibu kota Israel.
"Keputusan itu merupakan pelanggaran berbahaya terhadap status hukum internasional kota Yerusalem dan resolusi legitimasi yang relevan," kata Saeed Abu Ali, asisten sekretaris jenderal Liga Arab untuk wilayah Palestina dan Tanah Arab yang Diduduki, seperti dikutip dari Xinhua News Agency, Minggu (16/12/2018).
Baca Juga
Advertisement
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengumumkan sebelumnya pada hari Sabtu tentang pengakuan resmi negaranya atas Yerusalem barat sebagai ibu kota Israel, di tengah penolakan oposisi domestik serta kecaman Arab dan Muslim. Namun, Morrison juga mengakui masa depan negara Palestina dengan Yerusalem timur sebagai ibu kotanya.
"Keputusan itu menunjukkan bias terang-terangan terhadap posisi dan kebijakan pendudukan Israel dan dorongan dari praktik dan agresi konstan," kata Abu Ali.
Konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak penciptaan negara Israel yang didukung Barat dengan menduduki wilayah Palestina pada tahun 1948.
Kebuntuan proses perdamaian antara Palestina dan Israel sebagian besar disebabkan oleh perdebatan status Yerusalem, masalah pengungsi Palestina dan kebijakan ekspansi pemukiman Israel yang selalu ditolak bahkan oleh sekutu terkuatnya, Amerika Serikat.
Simak video pilihan berikut:
Diplomat Palestina: Langkah Australia Melanggar Hukum Internasional
Diplomat senior Palestina, pada 15 Desember 2018, mengecam pengakuan Australia terhadap Yerusalem barat sebagai ibu kota Israel, menggambarkannya sebagai keputusan yang "tidak bertanggungjawab" dan melanggar hukum internasional.
Saeb Erekat, negosiator Palestina untuk Oslo Accord, juga mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa keputusan Australia untuk membuka kantor perdagangan di kota itu melanggar resolusi PBB.
"Sejak awal, kami telah merasakan keputusan pemerintah Australia untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel sebagai salah satu langkah politik yang picik mengarahkan kebijakan yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan perdamaian dan keamanan dunia," katanya dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari News24, Minggu (16/12/2018).
"Semua Yerusalem tetap menjadi masalah status final untuk negosiasi, sementara Yerusalem timur, di bawah hukum internasional, merupakan bagian integral dari wilayah Palestina yang diduduki," tambahnya.
Di sisi lain, sebagian besar negara asing menghindari mengumumkan perubahan atas status quo Yerusalem atau memindahkan kedutaan ke kota itu, agar tidak mengganggu jalannya perundingan perdamaian antara Palestina-Israel.
Namun, proses perundingan tampak semakin mengalami kemunduran setalah Presiden AS Donald Trump secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaannya ke sana pada akhir tahun 2017 lalu.
Advertisement